Wahana Tanpa Awak Dalam Perencanaan Strategis Pertahanan RI

02 Oktober 2023

Unmanned Ground Combat Vehicle UGV kerjasama dengan PT Ansa Solusitama tahun 2019 (photo : AnsaSolusitama)

Perkembangan lingkungan strategis di kawasan Indo-Pasifik dewasa ini menunjukkan terus berlanjutnya rivalitas antara Amerika Serikat dan China. Rivalitas yang terkait dengan isu Laut China Selatan dan Taiwan telah menjalar lebih luas sehingga menyentuh aspek ekonomi dan teknologi.

Kedua negara saling menerapkan tarif impor yang tinggi untuk komoditas-komoditas tertentu. Tidak hanya itu, AS dan China sekarang terlibat dalam perang cip seiring pelarangan AS untuk mengekspor cip ke China, sementara kemampuan China untuk memproduksi cip yang berukuran sangat-sangat kecil ketinggalan dari AS.

USV kerjasama dengan PT. Infoglobal Teknologi Semesta tahun 2019 (photo : Kemhan)

Indonesia berada dalam posisi terjepit dalam persaingan dua kekuatan besar tersebut, suatu posisi yang seringkali diingkari oleh para pejabat Indonesia. Di sektor ekonomi, Indonesia menjalin kerja sama erat dengan China, termasuk memberikan perlakukan khusus kepada masuknya tenaga kerja China ke jenis pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia.

Namun karpet merah yang diberikan oleh Indonesia kepada China tidak membuat Negeri Tirai Bambu menghormati kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di Laut China Selatan. Sehingga dalam sektor keamanan, Indonesia mempunyai kerja sama keamanan yang lebih erat dengan AS, baik kerja sama intelijen, latihan militer secara rutin dan lain sebagainya.

Underwater Glider Yellow Juku jenis UUV kerjasama dengan PT. Hidrolab Naval Indonesia tahun 2016 dapat menyelam hingga 1.000 meter (photo : Liputan6)

Ketidaknyamanan Indonesia terhadap China tercermin pula dari akuisisi sistem senjata yang dilakukan selama ini. Apabila memperhatikan secara seksama daftar belanja mesin perang yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN) sejak 2010 sampai saat ini, pengadaan sistem senjata dari China sangat sedikit dibandingkan dari negara-negara NATO dan sekutu AS lainnya.

Pengadaan yang signifikan hanya pesawat tanpa awak CH-4B dan rudal pertahanan udara titik QW-3. Rencana Indonesia untuk mendatangkan satu unit kapal perusak Type 052 bekas dari China dibatalkan oleh Kementerian Pertahanan tahun ini dan anggarannya dialihkan bagi pembelian F-15EX dari AS.

Elang Hitam MALE UAV konsorsium BRIN 2022 (photo : Jane's)

Saat ini Indonesia sedang berada di fase terakhir dari Minimum Essential Force (MEF) 2010-2024. Secara total, pemerintah telah mengalokasikan PLN sekitar US$50 miliar guna mendukung pengadaan sistem senjata selama 15 tahun terakhir, termasuk US$34,4 miliar pada periode 2020-2024.

TNI Angkatan Laut mendapatkan kuota pinjaman senilai US$8,3 miliar yang merupakan alokasi pinjaman terbesar kedua dari lima unit organisasi di lingkungan Kementerian Pertahanan. Di antara program pengadaan bagi TNI Angkatan Laut yang tercakup dalam anggaran sebesar US$8,3 miliar adalah pembelian kapal fregat dan kapal selam.

Diperlukan 65 MALE UAV & UCAV untuk TNI AD (photo : KompasTV)

Pengadaan kedua tipe kapal perang bersifat kritis di tengah perkembangan lingkungan strategis yang penuh tantangan dan lambatnya modernisasi kekuatan laut Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Salah satu tantangan yang dihadapi dalam program akuisisi kapal selam sebesar US$2,1 miliar adalah kesediaan galangan kapal asing untuk melakukan kerja sama industri dengan galangan kapal lokal. Naval Group tetap pada komitmen untuk menjalin kerja sama industri dengan pihak Indonesia sebagai bagian dari skema transfer teknologi, sementara galangan lainnya dari Eropa enggan untuk mengikuti Naval Group.

Green Juku smart UUV dengan kedalaman 5.000m (photo : KompasTV)

Terdapat sejumlah alasan mengapa galangan lain enggan menjalin kerjasama, di antaranya karena alasan kondisi internal galangan domestik yang dinilai tidak memenuhi harapan dari galangan tersebut. Memang harus diakui bahwa kondisi internal galangan lokal selalu menjadi tantangan saat hendak menjalin kerja sama dengan galangan luar negeri untuk membangun kapal perang yang kompleks.

Memperhatikan tantangan keamanan regional saat ini dan ke depan, merupakan hal yang tidak bisa dikompromikan bagi Indonesia untuk mempunyai kemampuan peperangan bawah air yang lebih baik di masa depan daripada saat ini.

Yellow Juku smart underwater glider (photo : KompasTV)

Seiring dengan kemajuan teknologi, kemampuan peperangan bawah air tidak lagi terbatas pada kapal selam, tetapi pula wahana tidak berawak seperti Underwater Unmanned Vehicle (UUV) dan Unmanned Surface Vehicle (USV).

Perang di Ukraina telah memberikan contoh betapa wahana seperti USV dapat menjadi senjata mematikan yang melumpuhkan kapal perang seperti tipe fregat. Wahana seperti UUV dan USV dapat digunakan untuk misi operasi pada wilayah perairan yang cukup beresiko apabila dilaksanakan kapal permukaan atau kapal selam.

Orange Juku smart buoy (photo : KompasTV)

Seiring dengan berakhirnya MEF 2020-2024, Kementerian Pertahanan sedang menyusun draf postur pertahanan 2025-2044 yang akan menjadi acuan bagi penyusunan rencana strategis pertahanan, termasuk rencana strategis TNI Angkatan Laut.

Tentu menjadi hal menarik untuk diperhatikan bagaimana draf postur pertahanan hingga 2044 mengantisipasi kemajuan teknologi pertahanan yang akan terus berevolusi, termasuk akan semakin meluasnya penggunaan wahana tanpa awak untuk kepentingan militer. Begitu pula dengan bagaimana perencanaan strategis pertahanan diterjemahkan lebih lanjut menjadi kegiatan pengadaan sistem senjata, baik yang memakai PLN maupun Pinjaman Dalam Negeri.
Autonomous submarine dengan 6 torpedo (photo : KompasTV)

Postur pertahanan jangka panjang ke depan beserta turunannya seperti perencanaan strategis pertahanan hendaknya mengantisipasi penggunaan wahana tanpa awak untuk kepentingan pertahanan yang dikombinasikan dengan pemakaian wahana berawak. Pola demikian saat ini telah diadopsi oleh kekuatan pertahanan negara maju, seperti dalam konsep Manned-Unmanned Teaming (MUM-T) yang diterapkan dalam perang di Afghanistan.

Dalam konteks operasi maritim, konsep MUM-T berupa penggunaan secara terintegrasi antara wahana berawak seperti kapal permukaan, kapal selam dan pesawat udara dengan wahana tidak berawak seperti UUV dan USV. Integrasi demikian membutuhkan hadirnya suatu datalink yang dapat diandalkan, dalam arti terenskripsi dan aman.

Wulung UAV Taktis (photo : PTDI)

Kehadiran wahana tanpa awak di pasar pertahanan Indonesia akan sangat tergantung pada kebutuhan pasar. Tanpa adanya kebutuhan pasar dari Kementerian Pertahanan, sulit untuk mengharapkan industri asing untuk menawarkan solusinya kepada Indonesia.

Tanpa kebutuhan pasar pula, sukar bagi industri pertahanan domestik untuk mengembangkan produk-produk wahana tanpa awak, baik secara mandiri maupun lewat kerjasama dengan produsen dari luar negeri. Karena karakteristik pasar pertahanan adalah niche market, maka kebutuhan pasar harus diciptakan oleh pemerintah.

Rencana pembentukan skadron UAV TNI AU (image : istimewa)

Industri pertahanan nasional dapat menciptakan daya saing di bidang wahana tanpa awak apabila menguasai teknologi di sektor elektronika pertahanan. Pertanyaannya adalah bagaimana agar dapat menguasai teknologi tersebut?

Salah satu caranya adalah menjalin kerja sama dengan industri pertahanan asing yang mempunyai keunggulan di sektor elektronika pertahanan, termasuk melalui pembentukan firma joint venture. Industri pertahanan domestik tidak perlu malu untuk belajar dari para pemain global di sektor elektronika pertahanan. (Alman Helvas)

Subscribe to receive free email updates: