F-15EX, FREMM, dan Perencanaan Pembiayaan Belanja Senjata RI

11 Mei 2023

Usulan kenaikan Pinjaman Luar Negeri (PLN) untuk Kemenhan (image : istimewa)

Pembangunan kekuatan pertahanan pada periode 2020-2024 berjalan penuh tantangan sekaligus kejutan. Meskipun Indonesia selama 2020-2022 dilanda pandemi Covid-19 yang berakibat pada pemotongan anggaran pertahanan, akan tetapi alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) justru meningkat tajam dibanding periode 2015-2019.

Bahkan alokasi PLN untuk Kementerian Pertahanan yang semula US$ 20,7 miliar dinaikkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menjadi US$ 25,7 miliar atas usulan pihak pertama. Hal ini merupakan perubahan drastis karena pada periode 2015-2019, Kemenhan hanya mendapatkan alokasi PLN senilai US$ 7,74 miliar, itu pun tidak semua dapat dieksekusi menjadi kontrak efektif.

Di antara pembeda antara akuisisi sistem senjata menggunakan skema PLN di era 2020-2024 dibandingkan periode sebelumnya adalah ambisi Kemenhan membeli sistem senjata yang tergolong cutting edge. Rencana pengadaan pesawat tempur Rafale, F-15EX, kapal selam kelas Scorpene dan fregat FREMM adalah beberapa sistem senjata yang masuk dalam kategori tersebut.

Keputusan membeli sistem senjata cutting edge memang patut dipuji, akan tetapi di sisi lain Kemenhan mempunyai rencana pula untuk mengakuisisi sistem senjata bekas. Padahal pemerintahan saat ini pernah mengkritik kebijakan pemerintahan sebelumnya tentang pengadaan pesawat tempur bekas F-16 Blok 25 dari Amerika Serikat.

Akan tetapi sekarang pemerintahan saat ini berencana mendatangkan pesawat tempur bekas Mirage 2000-5 dari Qatar, di mana anggaran pengadaannya telah disetujui oleh Menteri Keuangan pada tahun lalu sebesar US$ 734,5 juta.

Selain itu terdapat pula usulan kepada Kementerian PPN/Bappenas untuk pembelian Mirage 2005-9 yang diduga kuat bersumber dari Uni Emirat Arab. Indonesia berencana juga membeli kapal perusak dan korvet bekas dari China yang walaupun konon hibah akan tetapi Kementerian Keuangan tetap harus berutang guna membiayai kegiatan tersebut.

Walaupun Menteri Keuangan telah menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) senilai US$ 25,2 miliar, akan tetapi nampaknya dipandang belum cukup untuk memenuhi ambisi belanja pertahanan hingga 2024. Hal demikian mengindikasikan bahwa perencanaan belanja pertahanan masih menjadi tantangan yang ditandai dengan perubahan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 selama beberapa kali.

Usulan perubahan berasal dari Kemenhan kepada Kementerian PPN/Bappenas, namun fakta menunjukkan bahwa usulan tersebut ternyata tidak matang. Hal ini dibuktikan dengan kembali adanya permintaan tambahan PLN sebesar US$ 6,9 miliar pada awal tahun ini guna membiayai rencana akuisisi yang tidak tercantum di DRPLN-JM 2024.

Terkait usulan tersebut, pertanyaan klasik yang pertama muncul adalah apakah pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk membiayai belanja pertahanan melalui utang luar negeri? Menyangkut sistem senjata cutting edge, terdapat dua kegiatan yang nasib pengadaannya belum jelas.

Pesawat tempur F-15EX (photo : USAF)

Pesawat Tempur F-15EX dari Amerika Serikat

Pertama adalah rencana mengimpor F-15EX dari Amerika Serikat, di mana kegiatan tersebut tidak tercantum dalam Blue Book, sehingga kalaupun Indonesia mau mengakuisisi F-15EX tidak melalui skema PLN. Sepengetahuan penulis, kegiatan apapun yang diusulkan menggunakan skema PLN harus tercantum dalam DRPLN-JM.

Sejak Blue Book diterbitkan pada 2021 hingga perubahan ketiga pada akhir 2022, program akuisisi F-15EX tidak pernah tercantum di dalamnya. Boleh jadi pemerintah mungkin akan memanfaatkan kas internal apabila program tersebut disetujui untuk dieksekusi dan tidak menggunakan PLN.

Di saat nasib pengadaan F-15EX tidak jelas walaupun Amerika Serikat telah memberikan lampu hijau untuk mengekspor jet tempur yang ditenagai oleh mesin karya General Electric itu ke Indonesia, Kemenhan belum lama ini mengusulkan pembelian F-16.

Angka usulan PLN yang diajukan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas adalah US$ 1 miliar yang berdasarkan kalkulasi kasar dapat membawa pulang 12 F-16V dalam kondisi flyable, termasuk pula oleh pengadaan suku cadang.

Terkait dengan usulan akuisisi F-16 buatan Lockheed Martin, apakah hal demikian merupakan sinyal bahwa Kemenhan sudah angkat tangan dengan rencana membeli F-15EX? Sebagaimana diketahui, selama satu tahun terakhir rencana pengadaan F-15EX tersandung masalah pembiayaan di Kementerian Keuangan.

Sejumlah sumber diplomatik menyatakan bahwa Washington DC terus menanyakan kepastian Jakarta membeli F-15EX, namun Indonesia tidak dapat memberikan jawaban yang pasti soal tersebut. Apakah Indonesia dapat mengatasi isu pembiayaan terkait rencana pembelian F-16 karena mungkin lebih mudah mendapatkan PLN sebesar US$ 1 miliar untuk F-16 daripada US$ 9 miliar bagi F-15EX?

Fregat FREMM (photo : Ares)

Fregat FREMM dari Italia

Kedua, rencana pengadaan fregat FREMM buatan Fincantieri, Italia. Sejumlah sumber industri pertahanan di kawasan Indo Pasifik menyatakan kepada penulis bahwa Fincanteri sangat kecewa dengan kegagalan Indonesia memenuhi kesepakatan kontrak yang telah ditandatangani pada 4 Juni 2021.

Sebagaimana diketahui, Indonesia menandatangani kontrak pembelian enam fregat FREMM dan dua fregat bekas kelas Maestrale saat pembiayaan kegiatan tersebut belum tercantum di Blue Book. Sumber kekecewaan adalah batas waktu kontrak telah kedaluwarsa, di mana saat batas waktu itu tercapai Indonesia gagal menjadikan status kontrak menjadi efektif.

Tentu saja kekecewaan itu tidak akan dapat ditemukan di pemberitaan pers nasional maupun internasional, karena Fincantieri tidak ingin berkonfrontasi lewat media massa. Usulan dari Indonesia agar Fincantieri memasukkan proposal baru berupa fregat FREMM dan kapal pendukung nampaknya tidak disambut baik karena galangan asal Italia ini sudah terlanjur kecewa.

Bersamaan dengan usulan pembiayaan F-16, Kemenhan mengajukan pula usulan pendanaan akuisisi tiga fregat FREMM senilai US$ 2,25 miliar, di mana usulan demikian harus tercantum dalam DRPLN-JM terlebih dahulu apabila hendak mendapatkan pembiayaan PLN.

Kalaupun Kementerian PPN/Bappenas menyetujui permintaan dana sebesar US$ 2,25 miliar untuk fregat FREMM, belum dapat dipastikan Indonesia dapat mengimpor fregat itu. Selain ditentukan oleh Penetapan Sumber Pembiayaan yang ditantatangani oleh Menteri Keuangan, pengadaan fregat FREMM juga sangat tergantung pada Fincanteri.

Apakah Fincanteri masih mau bernegosiasi dengan Indonesia setelah sebelumnya dikecewakan? Kekecewaan Fincanteri maupun ketidakjelasan rencana akuisisi F-15EX bersumber dari perencanaan belanja pertahanan yang tidak matang. (Alman Helvas Ali)

(CNBC)

Subscribe to receive free email updates: