Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista

13 Agustus 2023

Tank medium Harimau hasil kerjasama Pindad-FNSS (photo : Pindad)

KERJAsama alutsista antara Indonesia dengan Turki kian menunjukkan kemesraan. Teranyar, PT PAL Indonesia meneken memorandum of understanding (MoU) dengan Roketsan untuk menyediakan peralatan sistem tempur. Kesepakatan kerja sama yang berlangsung di sela Internasional Defence Industry Fair (IDEF) 2023 itu merupakan strategi Indonesia, dalam hal ini PT PAL, untuk memperluas global supply chain, penelitian, dan pengembangan produk alutsista. 

Secara kongkret, melalui kerja sama tersebut, PT PAL yang merupakan bagian dari konsorsium Defend ID itu berharap bisa menyerap teknologi dari perusahaan Turki, hingga bisa meningkatkan kompetensi membuat alutsista gahar dan canggih demi mendukung pertahanan matra laut Indonesia. Harapan tidak berlebihan karena Turki memiliki sejumlah perusahaan alutsista yang menjadi top global player. 

Salah satu proyek yang akan digarap bareng PT PAL-Roketsan adalah penyediaan sejumlah peralatan tempur untuk kapal Fregat Merah Putih 140 M yang tengah dibangun PT PAL. Di bidang alutsista laut, Roketsan bukanlah perusahaan kaleng-kaleng karena memiliki kapasitas mumpuni memproduksi alutsista seperti anti-ship missile, heavy weight torpedo, light weight torpedo, dan roket ASW (anti submarine warfare).

TAI Anka, drone UCAV (photo : DefenseNews)

Adapun PT PAL menawarkan kapal rumah sakit (BRS) ke Turki sebagai upaya untuk menjajaki pasar global lebih luas. Seperti diketahui, perusahaan berbasis di Surabaya itu sudah berpengalaman membangun BRS, antara lain BRS KRI Wahidin Soediro Husodo dan KRI Soeharso. Sejauh ini, produk tersebut sudah diekspor ke Filipina dan sudah dipesan Uni Emirat Arab (UEA).

Selain alutsista maritim, kerja sama Indonesia-Turki terbaru ditunjukkan di bidang kedirgantaraan. Kontrak pembelian yang dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) terhadap 12 unit kendaraan udara tak berawak bersenjata (UCAV) Anka dari negeri Kemal Ataturk tersebut, ternyata juga diiringi dengan transfer of technology (ToT). Rencananya, 12 drone buatan Turkish Aerospace Industries Inc (TAI) yang dibeli akan dirakit di PT Dirgantara Indonesia (DI). 

Selain kerja sama PT PAL-Roketsan dan TAI-PT DI, sebelumnya tercatat sejumlah perusahaan alutsista kedua negara telah melakukan kolaborasi. Secara monumental, kerja sama yang melibatkan G to G dan B to B dilakukan pada gelaran Indo Defence 2022 lalu. Pada momen tersebut, Kemhan menandatangani beberapa kontrak kerja sama dengan Turki untuk menggenjot kemampuan industri pertahanan Indonesia.

FNSS Zaha marine assault vehicle ditawarkan kepada Korps Marinir (image : Sketchfab)

Kerja sama dimaksud adalah penandatanganan kontrak kerja sama antara Kemhan dengan Havelsan, Turkiye, DEFEND ID/PT PAL, PT Noahtu Shipyard dan PT Tesco Indomaritim untuk menggarap combat management system (CMS) offshore patrol vessel (OPV) warship, CMS OPV 90 M warship, CMS kapal cepat rudal (KCR) 90 M Warship, dan CMS Frigate Warship. Selanjutnya ada kontrak kerja sama jual beli antidrone and weaponary antara Kemhan dengan Bogazici Savunma Teknolojileri, Turki.

Kerja sama lainya adalah jual beli KCR full combat mission antara Kemhan dengan Tais Gemi Insa Ve Teknoloji AS Turki, jual beli antara Kemhan dengan Roketsan dan PT Noahtu Shipyard untuk penyediaan Khan Missile System, Roketsan Trisula-O Missile System (OMS), Trisula-O Weapon System (OWS), Trisula-U Missile System, Trisula-U Weapon System (UWS), dan Atmaca Missile yang akan disematkan pada kapal OPV and OPV 90 M. Malahan kabar terbaru, 41 kapal perang TNI AL yang akan di-refubisment semuanya akan dibekali rudal Atmaca. 

Dari fakta di atas, kerja sama antara Indonesia-Turki terbilang pada level tinggi. Akusisi misil sistem Atmaca misalnya, mengindikasikan kepercayaan Indonesia terhadap produk alutsista buatan negeri Otoman tersebut. Dengan demikian, Indonesia sudah tidak lagi melulu bergantung pada negara-negara yang selama ini menjadi penguasa utama teknologi missile seperti Amerika Serikat, Rusia, Prancis dan negara maju lainnya. 

Roketsan Khan surface-to-surface missile (photo : Daily Sabah)

Bahkan, melalui kerja sama yang telah dibangun, kedua negara tidak berhenti pada jual beli alutsista. Transaksi yang dilakukan diiringi dengan pemberian offset, ToT, hingga kesepakatan produksi bersama. Contohnya adalah produksi tank medium Harimau yang dilakukan PT Pindad dengan FNSS Turki. Rencananya kedua negara akan melanjutkan kerja sama pembuatan tank amfibi Zaha. Jika program tersebut berjalan dan bisa konsisten, bukan tidak mungkin Indonesia membangun industri pertahanan tangguh dan mewujudkan kemandirian alutsita seperti ditunjukkan Turki. 

Lompatan Turki 
Kerja sama dengan Turki merupakan pilihan strategis. Pasalnya, kapasitas penguasaan alutsista negeri yang menghubungkan Asia dengan Eropa itu tidak perlu lagi dipertanyakan. Di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyib Erdogan, Turki menjelma menjadi produsen senjata yang disegani, termasuk drone Bayraktar TB 2 yang sangat melegenda dalam perang Azerbaijan vs Rumania dan Ukraina vs Rusia. Bahkan Bayraktar TB 2 menjadi game changer saat Azerbaijan mengalahkan Rumania.

Kapasitas industri pertahanan Turki bisa dilihat dari level perusahaan alutsista yang dimiliki. Berdasar data Denfense News yang dirilis 2022, dari 100 perusahaan pertahanan terkemuka dunia, tujuh di antaranya berasal dari Turki. Bahkan, ASELSAN masuk dalam 50 besar. Perusahaan yang berdiri pada 1975 itu mengembangkan produk mulai dari sistem komunikasi, radar, dan berbagai sistem pertahanan. Produk karyanya pun telah menyebar ke 65 negara di dunia.

Roketsan Atmaca anti-ship missile (photo : Jane's)

Peringkat di bawah ASELSAN adalah TAI. Selain menyediakan komponen penting untuk manufaktur pesawat terbang, TAI juga menggarap industri luar angkasa, multirole helikopter, drone, dan pesawat pelatihan Hukus. Selanjutnya ada BMC. Perusahaan ini memproduksi banyak kendaraan komersial dan militer mulai dari bus hingga kendaraan lapis baja dan telah mengekspor ke 80 negara. Di antara produk andalannya adalah tank tempur Altay. 

Kemudian ROKETSAN, yang memproduksi berbagai jenis rudal, mulai rudal jarak jauh Bora, rudal TRG-300 Kaplan, rudal TRG-122, amunisi pintar mini MAM-C, rudal berpemandu laser Cirit, rudal anti-tank jarak menengah dan jarak jauh UMTAS dan OMTAS, rudal pertahanan udara Hisar, kit laser Teber, rudal laut pertama Turki Atmaca dan sistem pertahanan udara Sungur, dan lainnya.

Perusahaan pertahanan Turki yang juga masuk 100 besar dunia adalah STM Defense Technologies & Engineering Ltd. Perusahaan ini merancang, memodernisasi dan membangun kendaraan angkatan laut militer, drone, teknologi satelit, radar dan keamanan siber. Lalu, perusahaan Turki yang juga top global adalah FNSS. Perusahaan tersebut memproduksi kendaraan darat lapis baja dengan berat 15 ton, tank berbobot sedang, kendaraan lapis baja beroda taktik 4x4 dan 8x8. Tak ketinggalan ada nama HAVELSAN yang fokus pada perangkat lunak pertahanan seperti CMS. 

Aselsan Zoka torpedo countermeasure (photo : DefenceTurk)

Atas kinerja positif perusahaan pertahanan, Turki tampil sebagai negara pengekspor pertahanan terbesar ke-14 di dunia. Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), negeri tersebut menyumbang 1% dari total ekspor global. Prestasi yang diraih mengindikasikan Turki mampu menyiapkan SDM tangguh, melewati dinamika perekonomian, mengurangi ketergantungan pada pemasok asing, dan mengatasi perselisihan politik regional. 

Bagaimana perusahaan Turki bisa sedemikian maju? Dr Ali Bakeer, analis dan konsultan politik yang mengikuti tren geopolitik dan keamanan di Timur Tengah, dalam suatu artikelnya menuturkan bahwa Turki sudah lama memberi perhatian pada industri pertahanan. Momentumnya ketika terjadi krisis Siprus pada 1974 yang didiikuti embargo senjata Amerika Serikat (AS) yang merupakan sekutu di NATO. Dalam situasi terjerembab itulah, otoritas Turki menyadari urgensi membangun industri militer sendiri untuk memenuhi kebutuhan angkatan bersenjatanya dan mengurangi ketergantungan dari negara lain.

Untuk menata ulang dan mengubah menjadi industri pertahanan modern, pemerintah Turki pada 1985 membentuk Undersecretariat for Defense Industries (SSM). Dalam kondisi penuh keterbatasan, SSM terbukti sukses mendorong kemajuan industri pertahanan. Namun, industri pertahanan benar-benar melambung tinggi pada dasawarsa terakhir kala pemerintah mengeluarkan kebijakan agresif untuk memastikan kemandirian alutsista Turki dan meningkatkan ekspor industri pertahanan.

Havelsan Advent Combat Management System (photo : Havelsan)

Beberapa kebijakan yang diambil antara lain menempatkan beberapa badan industri pertahanan lokal di bawah kantor presiden. Pada 2017 misalnya, Presiden Erdogan menempatkan Yayasan Angkatan Bersenjata Turki (TSKGV) di bawahnya untuk memacu kapabilitas dan meningkatkan efisiensi sumber daya. Pemerintah Turki juga secara konsisten memberi tugas tambahan untuk jajaran diplomatnya menjadi tim marketing peralatan militer Turki ke luar negeri dan mencari pasar baru untuk ekspor alutsista. 

Laporan perkembangan teranyar, dalam International Defense Industry Fair (IDEF) di Istanbul, Turki pada 25–28 Juli 2023, Erdogan dalam rekaman video mengungkapkan kebanggaannya atas capaian membangun kemandirian dalam industri pertahanan. Menurut dia, hampir semua kebutuhan darat, udara, dan laut sudah bisa dipenuhi perusahan domestik. Turki pun menjelma sebagai salah satu negara utama pengekspor alutsista, terutama untuk negara-negara di Asia dan Afrika, dengan total ekspor alutsista hingga pertengahan 2023 mencapai USD2,378 miliar, dan sampai akhir 2023 diharapkan tembus USD6 miliar.

Walaupun sudah terbilang sukses dan memiliki tujuh perusahaan pertahanan kelas dunia, pemerintahan Erdogan ternyata belum puas. Presiden ke-12 itu menetapkan target Turki mandiri 100% dalam industri pertahanan pada 2053, meningkatkan kapasitas ekspor hingga USD50 miliar, dan menempatkan minimal 10 perusahaan pada 100 besar perusahaan pertahanan terbesar di dunia. 

Roketsan Hisar-U/Siper rudal pertahanan udara jarak jauh (photo : Roketsan)

Demi meraih tujuan tersebut, termasuk sebagai solusi pendanaan, Turki membuka ruang lebar untuk investasi. Salah satu pilihan strategisnya adalah merangkul Qatar, negara kecil kaya yang memiliki ikatan kuat dan tidak menimbulkan ancaman bagi Ankara, termasuk mengganggu target kemandirian. Kemitraan keduanya terukir pada Desember 2018, saat Erdogan menandatangani Dekrit 481, yang membuka jalan privatisasi pabrik tank dan palet digarap perusahaan gabubungan Turki-Qatar, yakni BMC, selama 25 tahun ke depan. 

Terbuka Lebar untuk Indonesia 
Baik Indonesia maupun Turki sama-sama memiliki visi membangun industri pertahanan dan mewujudkan kemandirian alutsista. Keduanya berusaha keras mengejar tujuan tersebut karena pernah mengalami sanksi militer dan embargo alutsista dari negara-negara barat, terutama AS. Keduanya memiliki peluang bersinergi karena ikatan ideologis, yakni negara dengan penduduk mayoritas Islam, dan tidak memiliki ganjalan conflict of interest karena tidak ada benturan kepentingan.

STM dan Golcuk Naval Shipyard Reis class, kapal selam U-214 (photo : Defence Turkey Magz)

Sejauh ini, perkembangan industri pertahanan Turki jauh melampaui Indonesia. Jika ditelusuri, lompatan industri pertahanan Turki terjadi karena pemerintahnya sudah jauh hari -periode antara1970-1980- serius membangun bidang tersebut dengan mendirikan Aselsan, Havelsan dan Aspilsan. 

Pada prosesnya, Turki juga telah melakukan reorganiasi untuk membawa perusahaan alutsistanya menjadi modern. Selanjutnya Turki mencari berbagai solusi untuk mengatasi dinamika dan tantangan mulai dari politik, SDM, teknologi, hingga pendanaan. Poinnya, kerja keras tanpa lelah yang ditunjukkan lambat laun menghasilkan sukses, hingga Turki menempatkan tujuh perusahaan pertahanannya pada big 100 secara global. 

Altay main battle tank 65 ton hasil desain Otokar dan diproduksi oleh BMC (photo : BMC)

Walaupun masih ketinggalan, Indonesia sudah on the right track membangun kemandirian alutsista. Lahirnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan memberikan fondasi yang kuat untuk tujuan tersebut. Salah satu output penting dari undang-undang tersebut adalah terbentuknya Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Lembaga yang dipimpin langsung oleh Presiden inilah yang akan mengawal tercapai tujuan tersebut. 

Selain itu, untuk menyinergikan industri pertahanan plat merah yang ada, Kementerian BUMN telah menyatukan mereka dalam konsorsium Defend ID. Tak kalah strategisnya adalah kebijakan Kementerian Pertahanan yang melibatkan industri swasta nasional untuk bersama-sama berpartisipasi dalam menggarap proyek alutsista. Dengan demikian semua potensi bangsa yang bisa mendukung kemajuan industri pertahanan tidak terlewatkan. 

TAI Kaan pesawat tempur generasi ke-5 (photo : Dimir)

Hanya saja, untuk meraih target maksimal tidaklah mudah. Seperti disampaikan pengamat militer Alman Helvas, Indonesia masih terkendala finansial, SDM, penguasaan teknologi dan hingga fasilitas produksi. Hambatan inilah yang membuat produk alutsista made in Indonesia kurang kompetitif. Dari berbagai kendala, kerja sama dengan Turki menjadi opsi strategis, terutama untuk pengembangan SDM, penguasaan teknologi, hingga fasilitas produksi.

Dan, peluang membangun kemitraan dalam industri pertahanan sangat terbuka, karena Presiden Erdogan membuka lebar kerja sama, apalagi dengan Indonesia. “Kami tidak hanya menjual produk tetapi juga mengembangkan proyek bersama jangka panjang. Kami senang ilmu dan pengalaman kami di industri ini dapat dimanfaatkan oleh teman-teman dari negara lain,” kata Erdogan , dalam pameran IDEF 2023. 

STM fregat Istanbul class panjang 113m, berat 2.000 ton (photo : STM)

Secara spesifik, Indonesia-Turki telah menandatangani MoU kerja sama industri pertahanan melalui Menhan Prabowo Subianto bersama Menhan Turki Hulusi Akar, sela-sela KTT G20 di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu. Melalui kerja sama ini, kedua negara bersahabat sepakat membentuk dewan kerja sama strategis tingkat tinggi. Sebelumnya Indonesia-Turki, sejak 2012 juga telah menjalin kemitraan strategis. 

Langkah mengembangkan bersama alutsista, termasuk tank Harimau dan tank amfibhi Zaha, mengindikasikan kerja sama kedua negara sudah kongkret dilakukan. Peluang untuk meningkatkan kerja sama pada level lebih strategis menjadi jauh lebih terbuka dengan kontrak yang diberikan Indonesia -dengan melibatkan perusahaan swasta maupun BUMN- kepada perusahaan Turki untuk membangun CMS berbagai jenis kapal perang jenis KCR 90, OPV hingga Fregat Merah Putih.
 
Aselsan EIRS radar peringatan dini jarah jauh (photo : Turdef)

Ruang untuk belajar dan bersinergi agar bisa mengikuti kemajuan Turki dalam industri pertahanan juga bisa dilakukan lewat pembelian UAV Anka. Lewat skema ToT yang diberikan, Indonesia bisa mendapatkan ilmu dan teknologi melanjutkan proyek UAV Elang Hitam. 

Dan, lebih strategis lagi adalah kerja sama untuk menyediakan Khan Missile System, Trisula-O Missile System (OMS), Trisula-O Weapon System (OWS), Trisula-U Missile System, Trisula-U Weapon System (UWS), dan Atmaca Missile yang akan dibenamkan pada kapal OPV dan 41 kapal perang TNI AL yang akan di-refubisment. Kerja sama tersebut dimanfatkan untuk belajar membangun kemandirian rudal, termasuk mengembangkan RHAN menjadi rudal masa depan Indonesia.

Subscribe to receive free email updates: