Ini Dia Hasil Studi Potensi Kebutuhan N219 Amphibious

06 Desember 2024

Miniatur pesawat N219 Amphibi (photo: Info Penerbangan)

Feasibility study yang dilakukan Lapan bersama BPPT dan PT DI, termasuk di antaranya dari sisi marketing, menunjukkan keputusan membangun N219 Amphibious ini berdasarkan keyakinan pesawat jenis ini sangat dibutuhkan masyarakat atau audiens di Tanah Air dan berpotensi diserap pasar secara luas. Pesawat N219 Amphibious cocok dengan karakteristik geografi Nusantara dan demografi yang tersebar di pulau-pulau terpencil. 

Secara keseluruhan N219 telah memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar 44,69 persen, sesuai Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 

Diperkirakan, harga yang dibanderol mencapai USD6,8 juta untuk N219 dan USD8 juta dolar untuk N219 Ampibhious. Jika dirupiahkan dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang saat ditulis sebesar 15,475.623, maka harga N219 Amphibious adalah sebesar hampir Rp124 miliar, sedangkan harga N219 adalah sekitar Rp105 miliar. Rencana awal, pesawat bisa dijual pada kisaran USD5 – 6 juta per unit. Harga ini relatif lebih murah dibandingkan dengan kompetitor, yakni pesawat Twin Otter buatan Kanada yang dipatok sekitar USD7 juta per unit. 

Untuk diketahui, N219 Amphibious memiliki kecepatan hingga 296 km per jam pada ketinggian maksimal 10.000 kaki. Dengan beban 1560 kg, pesawat mampu menempuh jarak hingga 231 km, take-off untuk ketinggian 35 kaki dari darat membutuhkan jarak 500 meter, sedangkan dari air membutuhkan jarak hingga 1.400 meter.Adapun untuk landing dari ketinggian 50 kaki, N219 Amphibious membutuhkan jarak 590 meter untuk di darat, dan 760 meter untuk di laut. Dengan kemapuan take off dan landing di air, N219 Amphibious tidak membutuhkan landasan udara, namun sekadar water based port. 

Baik N219 maupun N219 Amphibious memiliki keunggulan karena desainnya mengacu pada teknologi tahun 2000-an, sedangkan kompetitor desainnya adalah teknologi tahun 1960-an. Pesawat ini dapat dikendalikan dengan kecepatan rendah, yaitu 59 knot, hingga dapat dapat mendarat dalam jarak pendek di landasan sepanjang 600 meter. Untuk diketahui, N-219 menggunakan mesin PT6-42A, 850 shaft horse power (shp) buatan Kanada, baling-baling Hartzell buatan AS, dan sistem avionic Garmin 1000 buatan AS. Piranti tersebut dianggap terbaik di bidangnya dan efisien pemeliharaan. 

Berdasar spefikasi kemampuan tersebut, N219 Amphibious sangat cocok melayani kebutuhan wilayah kepulauan yang tidak memiliki landasan udara. Berdasar penjelasan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, banyak daerah di Tanah Air memiliki potensi menggunakan pesawat ini seperti Danau Toba, Pulau Bawah Kepri, Pulau Derawan Kaltim, Raja Ampat, Wakatobi, dan Pulau Moyo.

Selain menarget pemerintah daerah dan perusahaan swasta untuk melayani layanan mobilitas wilayah kepulauan, Kementerian Pertahanan juga membutuhkan pesawat jenis ini untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Selain itu, pesawat jenis sama juga dibutuhkan negara lain yang memiliki spesifikasi gografis serupa. Berdasar data, seperti di kawasan Asia Pasifik, terdapat 150 unit pesawat aktif, dan 45% dari total populasi tersebut telah memasuki masa aging. 

Pesawat N219 Amphibi (image: Alinea)

Melansir laman resmi pemerintahindonesia.go.id, N219 Amphibious bisa dimanfaatkan untuk berbagai sektor, seperti layanan pariwisata, layanan perjalanan dinas pemerintahan, oil and gas company, layanan kesehatan masyarakat, SAR dan penanggulangan bencana, dan pengawasan wilayah maritim. 

Direktur Utama PTDI Gita Amperiawan juga menyampaikan bahwa pesawat N219 Amphibious memainkan peran penting dalam memenuhi seluruh rute perintis di wilayah Indonesia seperti Kepulauan Riau secara optimum, untuk membuka akses dan menjangkau pulau-pulau kecil yang belum memiliki bandara/airstrip, serta membuka peluang pengembangan pariwisata dan kekayaan alam laut di pulau-pulau kecil tersebut. 

Dia lantas membeberkan, saat ini tercatat sebanyak 8 unit populasi pesawat amfibi di Indonesia. Sedangkan potensi kebutuhan pesawat amfibi di Indonesia dalam 10 tahun kedepan sebanyak 54 unit dan kebutuhan tersebut direncanakan dapat dipenuhi oleh pesawat N219 Amphibious. 

Secara teori dan potensi, baik N219 maupun N219 Amphibious memang sangat besar. Untuk N219 misalnya, PT DI sejak awal sudah gembar-gembor sejumlah pemeritah daerah, perusahaan penerbangan Aviastar dan Trigana Air, perusahaan logistik, dan bahkan negara sahabat seperti Kroasia, Laos, dan Thailand sudah menyampaikan minatnya. 

Jumlah total N219 yang diminati mencapai ratusan unit. Bahkan pada ajang Indo Defence 2022, PT DI menandatangani kontrak jual beli 11 pesawat N219 dengan PT Karya Logistik Indotama (PT KLI). Sedangkan Kementerian Pertahanan disebut PT DI telah memesan 10 unit pesawat N219, dan teranyar TNI AD memesan 10 unit. 

Demi merespons pesanan, sejak awal PT DI menargetkan produksi N-219 pada 2017 rata-rata 6 unit per tahun, lalu pada 2018 sebanyak 10 unit per tahun. Pada 2019 ditingkatkan sebanyak 18 unit per tahun, dan maksimal adalah 20 unit per tahun dengan melihat pula kebutuhan pasar. Dengan kapasitas produksi saat ini, pengerjaan dan pengiriman pesawat dilakukan secara bertahap selama 44 bulan sejak pengukuhan kontrak. Pesawat pertama rencananya diselesaikan setelah bulan ke 24, Selanjutnya PT DI melakukan pengiriman tiap 4 bulan. 

Memang masih tanda tanya apakah kontrak pembelian tersebut sudah efektif atau belum mengingat hingga tahun 2023 hampir berakhir belum ada kabar pengiriman N219 ke pembeli, padahal rencana produksi sudah dirancang sejak 2017. Mungkin pula marketing N219 terkendala pandemi, hingga mengalami penundaan. Tentu diharapkan pesanan benar-benar diikuti dengan transaksi. 

Miniatur pesawat N219 untuk TNI AD (photo: Airspace Review)

Namun bila ada kendala skema pembiayaan, PT DI tentu harus bekerja keras untuk meyakinkan perbankan atau lembaga keuangan agar bisa menjembatani transaksi. Sedangkan jika terbentur mahalnya harga satuan N219 atau N219 Amphibious, maka PT DI harus berupaya meningkatkan TKDN hingga 60 persen seperti ditargetkan. 

Langkah membentuk laboratorium DO-160 yang digagas Lapan tepat untuk mendorong industri lokal dapat mengadakan uji berkali-kali bila melakukan litbang suku cadang N219 atau N219 Amphibious dengan biaya yang murah. Industri komponen lokal harus bisa mengisi kebutuhan karpet, kursi pesawat, peralatan navigasi dan lainnya. 

Di sisi lain, untuk memperluas potensi pasar, PT DI perlu lebih banyak mengedukasi perusahaan penerbangan atau logistik dalam negeri, serta pemerintah daerah agar memahami pentingnya pembelian N219 dan N219 sebagai solusi mobilitas efektif di wilayah mereka. 

Sedangkan untuk memperluas pasar global, PT DI perlu memperkuat kerjasama dan kolaborasi, seperti dilakukan dengan Turkish Aerospace dan Linkfield Technologies China. Bahkan untuk perusahaan China tersebut sudah meneken komitmen untuk berkolaborasi dan telah memesan N219 unit di selsa The Aera Asia 2023 di Zuhai International Airshow Center, China. 

Potensi pemasaran N219 Amphibious tentu tidak kalah dengan N219. Bila melihat feasibility study yang dilakukan Lapan bersama BPPT dan PT DI, maka semua orientasi marketing STP terpenuhi. 

Dengan kata lain kehadiran N219 Amphibious memang sangat dibutuhkan audiens dan mampu menjadi solusi mobilitas orang dan barang di Tanah Air. Apalagi data menyebut populasi pesawat amfibi di Indonesia masih sangat terbatas, yakni 8 unit. Sedangkan proyeksi untuk kebutuhan 10 tahun ke depan sebanyak 54 unit. 

Begitupun potensi pasar global terbuka lebar. Seperti di kawasan Asia Pasifik saat ini terdapat 150 unit pesawat aktif, dan 45% di antaranya telah memasuki masa aging. Tak kalah pentingnya, N219 Amphibious dibangun dengan teknologi teranyar. Semoga harapan N219 Amphibious lari manis di pasaran menjadi kenyataan.

See full article SindoNews

Subscribe to receive free email updates: