KOMPAS.com - TNI Angkatan Udara (AU) pernah mengoperasionalkan helikopter latih SM-1 pada era 1950-an.
Dilansir dari tni-au.mil.id, prototipe awal SM-1 adalah GM-1 (Gelikopter Mil atau helikopter Mil) diproduksi oleh perusahaan Mikhail Mil.
GM-1 mulai dirancang sejak 1947 dan terbang perdana pada September 1948.
Nama perusahaan Mikhail Mil diambil dari nama seorang perancang helikopter pertama Rusia, yaitu Mikhail Leontyevich Mil, seorang Teknisi Skuadron Rotor Pertama Angkatan Udara Soviet pada Perang Dunia II.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, GM-1 terus dikembangkan menjadi helikopter Mil Mi-1.
Pada 1951, pertama kalinya Mil Mi-1 dipamerkan ke dunia Barat melalui pameran di Tushino Air Display.
Saat itu, Mil Mi-1 telah di produksi dalam jumlah yang banyak untuk angkatan bersenjata Uni Soviet, dan diekspor ke sekutu Uni Soviet untuk keperluan sipil dan militer.
Sejak 1954, Mi-1 diproduksi pula di Polandia oleh perusahaan WSK-Swidnik dengan nama SM-1 dan dirancang dalam berbagai versi yang berbeda.
Sebagian besar produksi helikopter SM-1 di Polandia untuk ekspor. Produksi SM-1 di Polandia mencapai ribuan dan berakhir pada 1965.
Sedangkan produksi Mi-1 di Uni Soviet berakhir pada 1961. NATO menyebut, Mil Mi-1 dengan sebutan "Hare" atau Kelinci, karena bentuknya menyerupai Kelinci.
Helikopter SM-1 di Indonesia
Sejak berdiri, seluruh kekuatan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) terdiri dari jenis Fixed Wing Aircraft.
Sejalan dengan perkembangan teknologi kedirgantaraan dunia internasional, serta didukung kondisi geografis Indonesia, AURI membutuhkan jenis pesawat rotary wing atau helikopter untuk meng-cover tugas yang tidak bisa dilakukan oleh pesawat fixed wing.
Keberadaan pesawat helikopter di Indonesia, diawali dengan berhasilnya Wiweko Soepono menyelesaikan sekolah penerbang helikopter di AS pada 1950 dengan jenis Hiller-360.
Wiweko menjadi penerbang helikopter pertama Indonesia. Wiweko kemudian membagi pengetahuan dan pengalamannya kepada Letnan Udara II Joem Soemarsono.
Kemudian, Joem Soemarsono bersama Letnan Udara I R. Soemarsono mengikuti sekolah penerbang helikopter jenis Hiller-12 B di AS.
Pulang dari AS, mereka mentransformasikan ilmu yang didapat kepada Soewoto Soekendar, Suti Harsono, dan Kusnidar.
Joem Soemarsono yang juga seorang teknisi pesawat helikopter dibantu oleh beberapa teknisi lainnya merawat pesawat-pesawat yang sudah dimiliki TNI AU.
Dibentuknya Skuadron Helikopter dan Pembelian SM-1
Untuk mewadahi helikopter yang sudah ada, dibentuklah Skadron Percobaan Helikopter.
Dengan bertambahnya jumlah pesawat dan penerbang helikopter, kemudian Skadron Percobaan Helikopter ditingkatkan menjadi Skadron Helikopter, sekaligus sebagai kesatuan di bawah Komando Group Komposisi (KGK).
Skadron ini berkedudukan di Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara dan diresmikan pada 20 Juni 1957 serta mengangkat Letnan Udara Ir. Soemarsono menjadi Komandan Skadron.
Dengan peningkatan status ini, meningkat pula peran helikopter dalam mendukung tugas-tugas negara, baik operasi militer perang (OMP) maupun operasi militer selain perang (OMSP).
Walhasil, penambahan armada helikopter menjadi skala prioritas dalam mengembangkan kekuatan AURI saat itu, yakni dengan mendatangkan berbagai jenis pesawat dari negara-negara Blok Timur.
Antara lain dengan membeli helikopter jenis SM-1 dari Polandia sebanyak delapan unit, yang mulai berdatangan medio 1958-1959.
Instruktur helikopter SM-1
Kedatangan helikopter SM-1 di Indonesia, juga membawa seorang instruktur terbang bernama Richard Widskorsky yang mendidik dan melatih dua orang pilot TNI AU, yakni Soewoto Soekendar dan Ashadi Tjahjadi untuk mengawaki SM-1.
Dengan semakin banyaknya helikopter yang memperkuat TNI AU, pada 1961 Skadron Helikopter ditingkatkan menjadi Skadron 6 Helikopter dengan kekuatan helikopter SM-1 dan helikopter lainnya.
Sejak menjadi kekuatan TNI AU, helikopter SM-1 beberapa kali melaksanakan kegiatan operasi dan latihan, yaitu:
1.Rescue/ambulans di Batujajar untuk mendukung latihan RPKAD dalam rangka latihan penerjunan payung sekitar tahun 1964.
2.SAR di Palembang.
3.Dokumentasi/pengambilan foto udara pada proyek Jatiluhur bersama-sama dengan orang-orang Perancis.
4.Sebagai basic training helikopter bagi para calon-calon penerbang helikopter di Wing Operasi 004.
5.Mendukung Operasi Hemat dalam rangka evakuasi jatuhnya pesawat Hercules di Kalimantan Timur pada 1965.
6.Mendukung Operasi kemanusiaan dalam rangka evakuasi kapal Corval berbendera Norwegia yang kandas di pantai selatan Ujung Kulon pada November 1965. Skadron Udara 7 diminta memberikan pertolongan penyelamatan bagi para penumpang kapal dengan segera mengirimkan helikopter SM-1 yang bergabung bersama helikopter Mi-4 dari Skadron Udara 6.
SM-1 purna bakti karena sulitnya suku cadang
Masa bakti SM-1 di Tanah Air tak berlangsung lama seperti halnya pesawat terbang dan helikopter yang didatangkan dari Blok Timur lainnya.
Masalah sulitnya pengadaan suku cadang menjadi penyebab seluruh SM-1 dinyatakan non operasional pada 1970.
Dari delapan unit yang ada, masih tersisa sebuah SM-1 dengan tail number H-121, yang kemudian dijadikan monumen di gerbang masuk Lanud Atang Sendjaja, Bogor.
Setelah puluhan tahun menjadi monumen dan identitas Lanud Atang Sendjaja, pesawat SM-1 kemudian direlokasi ke Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala Yogyakarta, sebagai benda sejarah yang perlu disimpan dan diabadikan untuk dikenang sepanjang masa sekaligus sebagai bahan pembelajaran, baik oleh generasi penerus bangsa maupun TNI AU.
Hal itu berdasarkan instruksi Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P pada Agustus 2017.
Detail spesifikasi helikopter SM-1
-Mesin: Ivchenko AI-26V buatan Polandia
-Kru: satu personel
-Kapasitas: 2 penumpang
-Panjang: 12,09 meter
-Diameter rotor: 12,09 meter
-Tinggi: 3,30 meter
-Bobot kosong: 1.700 kilogram
-Kecepatan maksimum: 185 kilometer per jam
-Jangkauan: 430 kilometer.
(Kompas)