Konsep Perisai Dirga Nusantara (all photos : KompasTV)
Untuk itu, Prabowo menekankan, jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang kuat, maka wajar pemerintah menyiapkan rencana dan skenario pertahanan. Termasuk, mempersiapkan rencana alutsista untuk memperkuat pertahanan.
"Kita ini dalam keadaan tidak kuat, tidak sehat, kalau tidak kuat hadapi ancaman virus, lebih cepat kita hancur. Pertanyaannya kembali, apakah Indonesia mau kuat atau lemah. Kalau mau kuat lakukan hal-hal yang jadi kuat," kata Prabowo.
Walaupun sekilas terlihat kondisi geopolitik sedang baik-baik saja, sesungguhnya kawasan sedang menyimpan bara panas, yang setiap saat bisa meletus menjadi perang terbuka.
Secara langsung atau tidak langsung perang yang bakal terjadi rawan menyeret Indonesia ke dalamnya pusarannya.
Potensi perang dimaksud tidak lain terkait agresivitas China di kawasan Laut China Selatan atau Indo-Pasific, yang memaksakan klaimnya terhadap 90% wilayah laut hingga bergesekan dengan beberapa negara di kawasan dan mengancam kebebasan lalu lintas di salah satu laut strategis dan tersibuk dunia tersebut.
Gesekan yang terjadi pun tidak lagi melibatkan China vis a vis Vietnam atau Filipina, tapi juga telah menyeret Australia, AS, Inggris, dan beberapa negara barat lainnya yang memiliki kepentingan terhadap akses lalu lintas transportasi dan keamanan kepentingan geopolitiknya.
Potensi perang di kawasan juga terkait dengan Taiwan, dan dengan beberapa negara Asia Timur yang menjadi sekutu AS, yakni Korea Selatan dan Jepang. Tingkat kerawanan meledaknya perang di kawasan tersebut menguat seiring dengan pecahnya perang Rusia-Ukraina.
Ibarat permainan catur, China, AS dan sekutunya sudah menggerakkan bidak-bidak kekuatan militer ke tempat-tempat strategis. China misalnya telah lama membangun pangkalan rudal di LCS, meskipun wilayah masih menjadi sengketa.
Fasilitas pangkalan China yang pernah tertangkap citra satelit berada di Kepulauan Paracel, tepatnya di Pulau Woody. Di pangkalan ini diketahui negeri panda tersebut telah menempatkan rudal darat-ke-udara HQ-9 untuk pertahanan udara.
Sebagai informasi, sistem rudal SAM HQ-9 China memiliki jangkauan operasional 200 kilometer (124 mil) di ketinggian dan dapat menimbulkan ancaman serius bagi lalu lintas udara militer dan sipil.
Selain pangkalan rudal, China juga disebutkan sedang membuat fasilitas militer di tiga pulau buatan yang telah sepenuhnya dimiliterisasi.
Berdasar citra satelit pula, diketahui keberadaan struktur serupa dengan atap yang dapat dibuka terdeteksi di terumbu Subi, Mischief, dan Fiery Cross yang merupakan bagian dari Kepulauan Spratly.
Di pangkalan-pangkalan itu pulalah, China menimbun berbagai alutsista strategis, mulai dari kapal induk, kapal selam, destroyer, hingga pesawat tempur yang belakangan masif dibangun negeri tersebut.
Masih di wilayah LCS, China juga dilaporkan telah membangun kota seluas 800.000 mil persegi di Kepulauan Paracel. Kota yang dinamai Shansa itu memiliki luas 1.700 kali wilayah New York City.
Di kota itu, China sudah membuat beberapa fasilitas kelas kota yang memiliki fasilitas seperti desalinasi air laut dan fasilitas pengolahan limbah, perumahan publik baru, sistem peradilan yang berfungsi, jangkauan jaringan 5G, sekolah, dan penerbangan charter reguler.
Dari sisi lain, negeri Paman Sam telah membentuk Aukus bersama Inggris dan Australia. Kehadiran aliansi yang diarahkan untuk mengimbangi kekuatan China sudah barang tentu kian memanaskan konflik di Indo-Pasifik. Apalagi melalui aliansi ini, AS membantu Australia membuat kapal selam bertenaga nuklir.
Selain melalui Aukus, militer AS juga memperluas jejaringnya dengan membuat pangkalan baru yang dekat dengan Indo-Pasifik, tepatnya di Papua Nugini.
Melalui kesepakatan yang telah dibuat dengan negara yang berbatasan darat langsung dengan Papua tersebut, AS dapat menempatkan tentara dan kapal perangnya dengan akses tanpa batas di enam pelabuhan dan bandar udara penting, termasuk Pangkalan Angkatan Laut Lombrum di Pulau Manus dan sejumlah fasilitas lain di ibu kota, Port Moresby.
Walaupun belum pecah menjadi perang, intensitas gesekan militer China versus AS dan sekutunya kian terasa. Apalagi sejak China memberlakukan hukum maritim terbarunya di LCS. Sejak 1 September, China memberlakukan aturan identifikasi maritim, yakni meminta setiap kapal khusus melaporkan posisinya ketika memasuki perairan yang diklaim.
AS misalnya telah mengirim kapal induk USS Ronald Reagan dan beberapa armada tempur. Dengan dalih untuk menjamin kebebasan navigasi, Inggris juga telah mengerahkah HMS Spey and HMS Tamar untuk melakukan patrol di sana.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan baik China maupun AS telah menggerakkan bidak-bidak militer untuk saling berhadap-hadapan di kawasan Indo-Pasifik.
Kepala Komando Mobilitas Udara AS, Jenderal Mike Minihan melalui memo dinas yang terungkap ke publik memprediksi perang kedua negara raksasa akan pecah pada 2025. Perang dipicu pemilihan presiden Taiwan pada 2024. Walaupun berfokus di selat Taiwan, dampaknya juga pasti akan terasa hingga Indo-Pasifik.
See full article SindoNews