US$ 734.5 juta disiapkan untuk membawa pulang sejumlah pesawat tempur Mirage 2000 bekas dari negara di Timur Tengah (photo : Forbes)
Pada 15 Agustus 2022, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas telah menerbitkan perubahan Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) Khusus Tahun 2022 untuk Kementerian Pertahanan. Dalam DRPPLN terbaru, nilai alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) menjadi US$ 9,5 miliar untuk membiayai 46 kegiatan.
Penerbitan DRPPLN tersebut dinilai krusial di tengah ambisi Kemhan untuk belanja besar hingga 2024 sebagai bagian dari modernisasi kekuatan pertahanan. Sebagaimana diketahui, ambisi Kemhan untuk belanja besar dihadapkan pada sejumlah tantangan fiskal, seperti pandemi Covid-19 dan prioritas belanja untuk sektor-sektor lain, termasuk rencana ambisius untuk memindahkan ibu kota ke Pulau Kalimantan.
Penerbitan perubahan DRPPLN 2022 memberikan angin segar kepada Kemhan guna memenuhi komitmen nasional dalam program modernisasi pertahanan dan komitmen internasional seperti kepada pemerintah Prancis dan Dassault Aviation. Kini menjadi pertanyaan, yaitu dari pengajuan DRPPLN sebesar US$ 9,5 miliar, berapa yang akan disetujui oleh Menteri Keuangan dalam bentuk Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP)?
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas telah merencanakan alokasi PLN untuk Kemhan pada 2020-2024 sebesar US$ 20,7 miliar dan hingga 2021 Menteri Keuangan telah menerbitkan PSP senilai US$ 7,7 miliar. Namun ketersediaan dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) pada APBN 2022 tidak sesuai dengan nilai yang seharusnya, berangkat dari asumsi nilai RMP maksimal 15% dari total nilai PLN.
Terkait dengan 46 aktivitas dalam DRPPLN 2022 yang diharapkan mendapat pembiayaan lewat PSP, terdapat sejumlah hal yang perlu mendapatkan perhatian.
Pertama, alokasi RMP pada APBN 2023
Mengacu pada RAPBN 2023, RMP bagi Kemhan dialokasikan senilai Rp 5,2 triliun atau sekitar US$ 354 juta. Apabila nilai RMP itu disetujui menjadi bagian dari Undang-Undang APBN 2023, apakah cukup untuk mendukung PSP yang diharapkan akan diterbitkan oleh Menteri Keuangan tahun ini?
RMP diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Nilai RMP pada dasarnya tergantung pada kesepakatan Kementerian Keuangan dengan lenders, namun diperkirakan berkisar antara 7% hingga 15% dari nilai total suatu kegiatan. Apabila RMP tidak tersedia, sulit untuk mengubah status suatu kontrak akuisisi senjata menjadi efektif karena RMP dialokasikan untuk pembayaran uang muka kontrak.
Diperlukan pendanaan tambahan untuk 42 unit jet tempur Rafale dari anggaran sekarang senilai 1,2 miliar USD dan 2,9 miliar USD (photo : Meta Defense)
Kedua, pemenuhan kewajiban kontraktual Indonesia
Kemhan pada 2021 telah menandatangani sejumlah kontrak akuisisi senjata walaupun saat itu belum didukung oleh alokasi anggaran di PSP.
Pada perubahan DRPPLN 2022, dari sejumlah kontrak yang telah ditandatangani, hanya kontrak rencana pengadaan jet tempur Rafale yang masuk dalam perubahan DRPPLN. Kegiatan itu pun merupakan lanjutan dari PSP 2021 karena pada PSP tersebut hanya cukup untuk enam unit Rafale senilai US$ 1,1 miliar dari kesepakatan pengadaan 42 Rafale dengan Prancis.
Program Rafale mendapatkan alokasi PLN US$ 2,9 miliar dalam perubahan DRPPLN 2022, sehingga diperkirakan Indonesia akan dapat menambah sekitar 10 hingga 12 unit Rafale lagi. Namun kontrak pembelian enam buah fregat FREMM senilai € 4,1 miliar belum dialokasikan dalam perubahan DRPPLN tersebut.
Dengan kata lain, perubahan DRPPLN 2022 belum dapat memenuhi semua kewajiban kontraktual yang telah disepakati oleh Indonesia. Namun perlu dicermati pula bahwa penandatanganan kontrak tanpa didahului oleh ketersediaan anggaran merupakan tindakan yang menyalahi aturan yang berlaku.
Ketiga, kegiatan akuisisi senjata bekas
Dari 46 kegiatan yang tercantum dalam perubahan DRPPLN 2022, setidaknya terdapat dua kegiatan yang berupa pengadaan senjata bekas.
Mengacu pada perubahan DRPPLN 2022, dibutuhkan PLN sebesar US$ 734.5 juta guna membeli pesawat tempur Mirage 2000 dari salah satu negara Timur Tengah. Diusulkan pula PLN senilai US$ 21 juta agar Kemhan dapat membawa pulang tiga korvet kelas Pohang bekas pakai Korea Selatan yang kini telah dipensiunkan.
Beberapa tahun lalu, pemerintahan saat ini pernah mencela kebijakan pemerintahan terdahulu terkait dengan akuisisi senjata bekas seperti F-16C/D dari Amerika Serikat. Namun kini pemerintahan yang berkuasa pun ternyata meneruskan kebijakan pemerintahan terdahulu yang sebelumnya mereka cela.
Impor senjata bekas, apalagi menggunakan PLN, nampaknya selalu menjadi isu kontroversial sejak masa Orde Baru. Pertanyaannya, situasi mendesak seperti apa yang dapat menjadi pembenaran berutang US$ 755,5 juta guna mendatangkan senjata bekas? (Alman Helvas)
(CNBC)