18 Februari 2022
Diskusi di ruang publik kembali ramai beberapa waktu terakhir dengan topik mengenai pembelian alat utama sistem pertahanan (alutsista) berupa pesawat tempur. Terdapat dua rencana pengadaan, yaitu pengadaan pesawat tempur dari Prancis dan Amerika Serikat (AS). Dari kedua negara tersebut, rencana pengadaan dari Negeri Paman Sam memiliki nilai kontrak yang lebih fantastis. Total nilai kontrak atas akuisisi pesawat tempur F15ID bernilai US$13,9 miliar atau sekitar atau sekitar Rp199 triliun.
Polemik di tengah masyarakat pun segera bermunculan pascapersetujuan dari Kementerian Luar Negeri AS atas rencana pengadaan pesawat tempur tersebut. Pihak yang kontra menganggap pengadaan tersebut tidak pas di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi. Sedangkan bagi pihak yang setuju menganggap rencana pengadaan tersebut merupakan langkah untuk memodernisasi kekuatan TNI AU agar setara dengan kemampuan negara-negara di kawasan regional.
Surplus neraca perdagangan sejak 2016
Terlepas dari pro dan kontra yang muncul, rencana akuisisi tersebut merupakan hilir dari sebuah proses. Hulu dari proses tersebut berawal dari timpangnya neraca perdagangan antara Indonesia dengan AS. Data pada Kementerian Perdagangan, dalam kurun waktu antara 2016 sampai dengan 2021 tercatat Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar US$59,9 miliar atau rata-rata sebesar US$9,9 miliar per tahun. Surplus neraca perdagangan yang dinikmati Indonesia mengalami perkembangan dengan puncaknya pada tahun 2021 di mana Indonesia menikmati surplus terbesar, yaitu US$14,5 miliar.
Melebarnya selisih ekspor dan impor tersebut yang kemudian menjadi dasar bagi Pemerintah AS untuk berusaha mengurangi besaran defisit yang terjadi. Upaya tersebut dimulai dari pemerintahan Presiden Donald Trump dan kemudian dilanjutkan pada pemerintahan Presiden Joe Biden. Targetnya jelas, yaitu mitra dagang AS agar menambah pembelian produk-produk buatan Negeri Paman Sam.
Produk penyeimbang neraca perdagangan
Sebenarnya banyak ragam pilihan produk buatan AS yang bisa menjadi penyeimbang neraca perdagangan di antara kedua negara. Namun, karena jurang perbedaan yang begitu besar, maka pilihan produk yang bisa dipilih menjadi lebih sedikit. Produk makanan semisal gandum atau kedelai merupakan produk yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sayangnya total kebutuhan gandum/kedelai per tahun masih jauh lebih kecil dibandingkan surplus perdagangan yang dinikmati Indonesia. Menambah impor gandum/kedelai mungkin akan mengurangi defisit yang dialami oleh AS, namun menjadi mubazir bagi Indonesia. Gandum/kedelai yang melebihi kebutuhan hanya akan terbuang sia-sia karena rusak/kedaluwarsa.
Produk permesinan maupun otomotif buatan AS layak dipertimbangkan sebagai penyeimbang. Namun, perlu diingat juga bahwa produk permesinan maupun otomotif memiliki substisusi produk dari negara lain seperti Jepang. Sifat sebagian masyarakat Indonesia yang fanatik dengan merek Jepang menjadikan kendaraan bermotor dari AS kurang populer di tanah air.
Pilihan lainnya adalah produk yang berkaitan dengan alat-alat pertahanan. Akuisisi alutsista buatan AS adalah pilihan paling realistis. Harga produk alutsista yang mahal merupakan cara mengurangi kesenjangan antara ekspor dan impor kedua negara dalam waktu yang singkat. Selain dari pertimbangan ekonomi berkaitan dengan perdagangan internasional, ada faktor teknis yang akhirnya memutuskan langkah Indonesia tersebut. Keinginan Indonesia untuk meremajakan kekuatan militer yang dimiliki serta kemampuan lebih yang dimiliki pesawat tempur tersebut. Tidak bisa dimungkiri Indonesia lebih akrab menggunakan produk persenjataan buatan negara-negara barat terutama AS dibandingkan produsen lain seperti Rusia atau China.
Fasilitas GSP bagi Indonesia
Sejak tahun 1974, pemerintah AS menerapkan kebijakan pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Fasilitas GSP merupakan pembebasan tarif bea masuk bagi produk negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan adanya pembebasan tarif tersebut, produk Indonesia yang diekspor ke AS dapat bersaing dengan produk serupa dari negara-negara lain. Dapat dikatakan bahwa surplus yang dinikmati oleh Indonesia selama ini sedikit banyak sebagai dampak dari pemberian fasilitas GSP oleh Pemerintah AS.
Keinginan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan merupakan kepentingan yang bersifat mutualisme antara Indonesia dan AS. Baik Indonesia maupun AS menikmati keuntungan apabila keduanya sepakat untuk mengurangi ketimpangan pada neraca perdagangan. Bagi AS, pengurangan defisit berarti berkurangnya pengangguran di Negeri Paman Sam. Lapangan pekerjaan baru akan tumbuh seiring pertumbuhan permintaan produk-produk AS oleh negara mitra dagangnya.
Sedangkan bagi Indonesia, kesediaan untuk membeli lebih banyak produk AS merupakan sinyal positif bagi kerja sama masa depan perdagangan kedua negara. Indonesia akan tetap menjadi mitra dagang utama dengan AS. Dan tentu saja harapan perpanjangan pemberian fasilitas GSP pada tahun-tahun mendatang tetap diberikan kepada Indonesia.
Surplus perdagangan sebesar US$59,9 miliar (Rp868 triliun) selama kurun 2016-2021 merupakan jumlah yang sangat besar. Dengan suplus yang diterima Indonesia selama periode waktu tersebut seharusnya dampak pada perekonomian nasional akan luar biasa. Baik sisi fiskal dan moneter dipastikan mendapatkan manfaat dari suplus tersebut. Tentu saja, dampak bagi perekonomian dalam negeri hanya akan terjadi apabila seluruh devisa tersebut berhasil direpatriasi serta tidak ada defisit neraca perdagangan dengan negara lain yang menggerus surplus perdagangan antara Indonesia dan AS.