FREMM and Maistrale frigates (photo : Forum Difesa)
Pada awal Desember 2022, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah mengajukan usulan tambahan anggaran Pinjaman Luar Negeri (PLN) kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas senilai US$ 5 miliar. Apabila usulan itu dipenuhi, niscaya alokasi PLN untuk Kemenhan pada periode 2020-2024 naik dari US$ 20,7 miliar menjadi US$ 25,7 miliar dan berpotensi menjadikan PLN sejak 2010 bernilai sekitar US$ 40 miliar.
Nilai yang disebut terakhir adalah asumsi apabila Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih mempunyai ruang fiskal sehingga semua kegiatan dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 mendapatkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP). Dengan alokasi awal PLN pada DPRLN-JM 2020-2024 sebesar US$ 20,7 miliar, masih terdapat US$ 6,2 miliar yang hingga akhir 2022 belum mendapatkan PSP dari Menteri Keuangan.
Usulan penambahan anggaran PLN seiring pula dengan usulan revisi ketiga DPRLN-JM 2020-2024 sebab penambahan anggaran PLN harus dijustifikasi oleh perubahan kegiatan pengadaan oleh Kemenhan. Tidak dapat dimungkiri rencana kegiatan akuisisi senjata sejak 2020 bersifat sangat dinamis, sehingga perubahan daftar kegiatan merupakan sebuah keniscayaan.
Rencana pengadaan senjata sebagai bagian dari program modernisasi kekuatan pertahanan memang tergolong ambisius sejak Kemenhan dipimpin oleh Prabowo Subianto. Merupakan fakta pula bahwa sebagian dari ambisi tersebut mulai terwujud, baik dalam bentuk kontrak efektif maupun telah mendapatkan PSP dari Bendahara Negara.
Sebagai respons terhadap kedua usulan tersebut, pada akhir Desember 2022, Menteri PPN/Kepala Bappenas menerbitkan revisi ketiga DPRPLN-JM 2020-2024 untuk Kemenhan. Sebenarnya usulan tentang revisi ketiga sudah diajukan oleh Kemenhan beberapa bulan sebelumnya, namun belum terjadi perubahan seperti yang dikehendaki oleh pihak pengusul.
Sehingga Kemenhan beberapa kali mengulang usulan tersebut yang berujung pada revisi ketiga pada akhir tahun lalu. Dalam revisi yang disepakati, terdapat beberapa perubahan signifikan dalam rencana belanja pertahanan yang perlu diperhatikan karena implikasinya bukan terbatas pada Kemenhan saja.
Pertama, perubahan alokasi DPRLN-JM 2020-2024. Kementerian PPN/Bappenas menyepakati usulan Kemenhan mengenai perubahan alokasi PLN dari US$ 20,7 miliar menjadi US$ 25,7 miliar. Terkait dengan perubahan ini, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah masih tersedia ruang fiskal bagi pemerintah untuk menambah PLN bagi Kemenhan sebesar US$ 5 miliar hingga tahun depan? Apakah perubahan itu akan disepakati oleh Kemenkeu selaku pengatur utang luar negeri pemerintah?
Perubahan alokasi PLN selain mempunyai konsekuensi pada besaran utang luar negeri, memiliki konsekuensi pula pada Rupiah murni. Apabila perubahan demikian disepakati oleh Menteri Keuangan, maka sang Bendahara Negara harus meningkatkan pula alokasi Rupiah Murni Pendamping (RMP) pada APBN 2024 untuk Kemenhan.
Saat ini proses penyusunan RAPBN 2024 mulai berjalan dan nilai RAPBN baru akan diketahui pada Agustus 2024. Pada saat yang sama, apabila Menteri Keuangan tahun ini kembali menerbitkan PSP untuk Kemenhan, sudah pasti nilai PSP tersebut memiliki korelasi dengan besaran RMP pada APBN 2024.
Kedua, perubahan daftar kegiatan belanja senjata. Perubahan alokasi PLN secara otomatis diikuti pula dengan perubahan kegiatan belanja senjata.
Dalam DRPLN-JM 2024 terbaru, terdapat tambahan pembiayaan pesawat tempur Rafale senilai US$ 4,1 miliar agar Indonesia dapat membawa pulang 42 pesawat Rafale sebagaimana telah disepakati dengan Prancis. Dua PSP sebelumnya dengan nilai total US$ 4 miliar masih menyisakan belasan pesawat Rafale dari komitmen 42 pesawat, sehingga diperlukan tambahan US$ 4,1 miliar.
Revisi DRPLN JM 2020-2024 memunculkan pula pertanyaan antara hubungan dokumen itu dengan PSP 2022. Pada salah satu edisi PSP 2022, Menteri Keuangan telah merestui PLN sebesar US$ 21 juta untuk membiayai hibah tiga korvet kelas Pohang eks Korea Selatan (Korsel).
Sedangkan dalam DRPLN JM 2020-2024 edisi terbaru, program hibah korvet dari Korsel dihapus dan diganti dengan dengan kegiatan hibah korvet dari China, diduga adalah korvet Type 056, senilai US$ 105,9 juta. Apakah PSP 2022 untuk korvet Pohang tidak akan dieksekusi oleh Kemenhan?
Ketiga, nasib kontrak yang telah ditandatangani. Pada 4 Juni 2021, Kemenhan dan Fincantieri, Italia telah sepakat untuk pembelian enam fregat FREMM seharga € 4,1 miliar, selain pengadaan dua fregat bekas kelas Maestrale eks Angkatan Laut Italia.
Akan tetapi, kegiatan akuisisi fregat FREMM tidak terdaftar dalam DRPLN-JM 2020-2024 yang telah direvisi. Hal demikian memunculkan pertanyaan apakah Indonesia serius untuk membeli fregat buatan Italia atau tidak.
Isu ini tidak dapat dipandang enteng karena dapat membuat hubungan Indonesia dan Italia terganggu sebab pihak pertama telah melakukan penandatanganan kontrak. Apakah Kemenhan akan kembali mengajukan revisi DRPLN-JM 2020-2024 guna mengakomodasi rencana pengadaan fregat FREMM?
Apabila hal itu ditempuh, diperlukan perubahan kembali daftar kegiatan dalam DRPLN-JM 2020-2024 karena alokasi US$ 25,7 miliar sudah sulit untuk diubah tanpa mengorbankan program-program pengadaan lainnya. Pilihan yang tersedia untuk mengakomodasi FREMM adalah kembali meminta kenaikan alokasi PLN sekitar US$ 4 miliar atau mencoret kegiatan pengadaan yang belum mendapatkan PSP dari Menteri Keuangan apabila plafon PLN US$ 25,7 miliar sudah tidak bisa dikompromikan lagi. (Alman Helvas)
(CNBC)