Silang Sengkarut Rencana RI Akuisisi Jet Tempur Rafale Cs

11 Agustus 2022

The Dassault "Rafale A" technology demonstrator in 1988 (photo : Derek Ferguson)

Indonesia telah menandatangani kontrak pengadaan 42 jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation pada 10 Februari 2022. Momen tersebut terjadi saat kunjungan Menteri Angkatan Bersenjata Prancis (saat itu) Florence Parly. Nilai kontrak itu sebesar € 5,8 miliar, sementara apabila mengacu pada data dari pihak Indonesia, akuisisi Rafale membutuhkan biaya US$ 7 miliar, termasuk dukungan logistik namun belum termasuk persenjataan. Dari 42 unit jet tempur Rafale, enam buah di antaranya menggunakan alokasi Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) 2021 untuk Kementerian Pertahanan senilai US$ 1,1 miliar. Kini yang menjadi tantangan adalah bagaimana ketersediaan Rupiah Murni Pendamping (RMP) untuk program itu agar kontrak dapat memasuki status efektif.

Kerja sama pertahanan Indonesia dan Prancis diatur dalam Defense Cooperation Agreement (DCA) yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Florence Parly pada 28 Juni 2021 di Paris. Akuisisi Rafale termasuk bagian dari DCA, selain pembelian kapal selam kelas Scorpene. Upaya mewujudkan pengadaan Rafale kini menjadi batu ujian bagi Indonesia dalam menjaga hubungan diplomatik dengan Prancis, terlebih setelah Prancis dikecewakan oleh Australia setelah Negeri Kangguru membatalkan kontrak akuisisi 12 kapal selam diesel elektrik. Indonesia sekarang menjadi pertaruhan penting bagi Prancis sebagai bagian dari upaya negara itu memperkuat kehadiran di kawasan Indo-Pasifik sebagaimana diuraikan dalam dokumen France and Security in the Indo-Pacific yang diterbitkan pada 2019.

Terkait dengan upaya mewujudkan rencana akuisisi 42 Rafale, isu ketersediaan alokasi anggaran merupakan hal kritis yang perlu diperhatikan. Hingga Juni 2022, pesanan 42 Rafale dari Indonesia belum tercatat dalam backlog order Dassault Aviation. Indonesia masih memerlukan Pinjaman Luar Negeri (PLN) sebesar US$ 5,9 miliar untuk membawa pulang 36 Rafale beserta dukungan logistiknya, namun tidak mencakup persenjataan. Dari total alokasi PLN periode 2020-2024 bagi Kementerian Pertahanan sebesar US$20,7 miliar yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, pinjaman murni sebesar US$ 17,6 miliar, sisanya yakni US$ 3,1 miliar harus disediakan oleh Indonesia karena merupakan dana RMP.


PSP 2021 yang terdiri atas 35 kegiatan telah menyerap US$ 7,7 miliar dari alokasi keseluruhan US$ 20,7 miliar, sehingga alokasi PLN yang tersisa adalah US$ 13 miliar. Dalam perkembangan terakhir, Kementerian Pertahanan mempunyai rencana mengalihkan 12 kegiatan dari 35 kegiatan dengan nilai US$ 1,3 miliar. Untuk memenuhi kewajiban kontraktual pembelian 36 Rafale, berarti terdapat sejumlah program pengadaan dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri (DRPLN) 2020-2024 yang harus dibatalkan dan dananya direalokasikan bagi pengadaan jet tempur Rafale. Pertanyaannya, kegiatan apa saja yang akan dibatalkan dan milik angkatan mana saja demi 36 Rafale?

Cara lain agar pembelian 36 Rafale dapat berjalan namun tidak mengorbankan kegiatan lainnya dalam DRPLN adalah tambahan alokasi PLN dari Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan. Apakah akan ada tambahan alokasi PLN untuk Kemenhan sangat tergantung dari lobi antarkementerian, kondisi keuangan negara dan prioritas belanja pemerintah. Rencana pembelian 36 Rafale tergantung pada Kementerian PPN/Bappenas dan Kemenkeu, apakah kontrak 36 Rafale akan masuk dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) yang selanjutnya disusul oleh penerbitan PSP? Jangan dilupakan pula aspek politik eksternal, di mana kegagalan Indonesia memenuhi janji untuk mengakuisisi 36 Rafale akan memengaruhi keyakinan Prancis tentang keandalan Indonesia sebagai mitra.

Pada sisi lain, Kemenhan masih memiliki ambisi untuk membeli pesawat tempur bekas dalam program yang dikenal sebagai Interim MRCA. Setelah gagal membawa pulang pesawat tempur Eurofighter Typhoon milik Austria, sekarang kementerian yang pernah dipimpin oleh Jenderal M. Jusuf ini hendak membeli Mirage 2000-5 dan atau Mirage 2000-9 dari negara-negara di Teluk Persia. Nilai PLN yang diperlukan untuk dua jenis pesawat tempur buatan Dassault Aviation tersebut adalah US$ 734,5 juta, termasuk dukungan logistik. PLN sebesar US$ 734,5 juta belum termasuk pembangunan fasilitas dukungan operasional jet tempur Mirage di Indonesia.

Dassault Mirage 2000 (photo : MBDA)

Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di Indonesia, pembangunan fasilitas pendukung senantiasa menggunakan Rupiah Murni dari APBN. Belum diketahui berapa miliar Rupiah yang dibutuhkan oleh TNI Angkatan Udara untuk membangun fasilitas pendukung operasional Mirage apabila Kemenhan jadi mengakuisisi jet tempur bekas asal Timur Tengah. Alasan di balik rencana pengadaan jet tempur yang pada 1986 bersaing dengan F-16A/B untuk memperebutkan pasar Indonesia adalah kurangnya jumlah pesawat tempur Indonesia sehingga perlu stop gap dalam jangka pendek. Dengan adanya stop gap, diharapkan kesiapan operasional jet tempur Indonesia meningkat walaupun masa pakai Mirage 2000-5 dan Mirage 2000-9 diperkirakan hanya sekitar 10 tahun hingga 15 tahun ke depan.

Sementara itu, Kemenhan masih mempunyai program lain terkait pesawat tempur, yaitu upgrade 23 F-16C/D Block 25 menjadi setara Viper. Program sudah masuk dalam DRPLN 2020-2024 dan tinggal menunggu penerbitan DRPPLN dan PSP. Walaupun usulan alokasi PLN pengadaan pesawat tempur Mirage dan program upgrade F-16C/D berbeda, namun dengan pagu PLN yang telah ditetapkan oleh Kementerian PPN/Bappenas, sebaiknya Kemenhan mengedepankan skala prioritas. Dalam diktum ekonomi, sumber daya selalu terbatas sehingga perlu prioritas dalam penggunaan sumber daya yang tersedia. (Alman Helvas Ali)

Subscribe to receive free email updates: