Pesawat tempur KF-21 Boramae (photo : KAI)
SACHEON, KOMPAS.com – “Wow”, itu lah kata yang terngiang di kepala ketika menyaksikan langsung uji terbang prototipe jet tempur KF-21 Boramae dengan nomor “004”.
Pada Jumat (2/6/2023), Kompas.com berkesempatan mengunjungi kantor Korea Aerospace Industries (KAI) di Kota Sacheon, Provinsi Gyeongsang, Korea Selatan (Korsel) bersama rombongan Indonesia Next Generation Journalist Network.
Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea merupakan program kerja sama Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).
Tetapi, momen mengesankan itu tak bisa diabadikan di ponsel pribadi lantaran larangan mengambil foto dan video. Bahkan, saat tiba di kantor KAI, rombongan langsung mendapatkan label untuk menutup kamera ponsel.
Langkah tersebut demi kerahasiaan, mengingat KAI merupakan produsen alat utama sistem pertahanan (alutista) di Korsel.
KAI juga perusahaan yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan jet tempur KF-21 Boramae.
Cuaca di Sacheon kala itu memang sangat cerah. Langit begitu biru dan matahari terasa terik. Keringat pun tak berhenti mengucur di badan kami yang sedang menunggu prototipe jet tempur KF-21 Boramae “004” keluar dari hanggar.
Beberapa saat kemudian “burung besi” berwarna abu-abu itu berjalan perlahan. Tampak jelas simbol bendera Indonesia dan Korea Selatan di badan pesawat. Bunyi mesinnya pun terdengar cukup kuat di telinga.
Rombongan diberi tahu bahwa salah satu sosok yang berada di kursi pilot merupakan warga negara Indonesia (WNI), yakni penerbang dari TNI AU, Letkol (Pnb) Ferrel "Venom" Rigonald.
“Ada dua pilot Indonesia yang terlibat (dalam uji terbang KF-21. Salah satunya terbang di pesawat nomor 004. Satu orang sedang bekerja di tempat lain,” ungkap Senior Manager & Chief KFX Joint Development Management Team KAI, Lee Sung-il.
Sebelum pesawat berbelok ke landasan pacu atay runway, kedua pilot yang berada jet tempur itu tampak melambaikan tangan. Rombongam membalas melambaikan tangan sambil tersenyum kagum.
Deru mesin pesawat kemudian terdengar semakin kencang dan tak lama kemudian prototipe jet tempur KF-21 Boramae “004” terbang ke langit Sacheon. Jet tempur yang tampak gagah itu pun hilang dari jangkauan mata dan hanya terdengar suara mesinnya.
“Sayang banget enggak bisa direkam ya. Padahal menarik,” celetuk seorang jurnalis dalam rombongan.
Korsel tagih pembayaran
Setelah menyaksikan uji terbang prototipe KF-21 Boramae nomor “004”, rombongan jurnalis mendapat penjelasan tentang perkembangan pengembangan jet tempur tersebut oleh Senior Manager & Chief KFX Joint Development Management Team KAI, Lee Sung-il.
Lee menjelaskan, pengembangan KF-21 Boramae merupakan proyek kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Korea Selatan.
Dia mengatakan sebanyak 30 WNI saat ini terlibat dalam pengembangan KF-21. Dua di antaranya merupakan pilot dari TNI AU.
“28 insinyur PT DI (Dirgantara Indonesia) sedang bekerja di area produksi dan pengembangan,” tutur Lee.
Rencananya pemerintah Korea akan membeli 128 pesawat KF-21. Sedangkan Pemerintah Indonesia sebanyak 48 pesawat.
Seperti diketahui, dalam pengembangan KF-21, akan ada transfer teknologi dari KAI kepada Indonesia. Sehingga nantinya Indonesia bisa memproduksi jet tempur secara mandiri.
Lee menyebut dari pengembangan tersebut Indonesia nantinya bisa mendapatkan keutungan hingga 10 miliar dollar AS. Selain itu juga akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.
“Indonesia akan mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebagai contoh, akan ada 27.000,” katanya.
Total nilai proyek pengembangan KF-21 sebesar 8,8 triliun won atau sekitar Rp 100 triliun. Sementara untuk skema pembiayaan, pemerintah Korea Selatan sebesar 60 persen, Pemerintah Indonesia 20 persen dan KAI 20 persen.
Lee mengatakan, Pemerintah Indonesia hingga kini belum melunasi pembiayaan tersebut.
“Pemerintah indonesia sudah membayar 17 persen, tapi 83 persen belum dibayar.
Pemerintah Korea Selatan membayar sebagian besar cost share dari tahun 2016-2022,” tuturnya.
Dia mengatakan pihaknya sangat berharap Pemerintah Indonesia bisa segera melunasi pembiayaan tersebut.
“Kami kesulitan karena masalah pembiayaan. Sehingga kami berharap Pemerintah Indonesia dapat membayar proyek ini,” katanya.
See full article Kompas