Pesawat tempur Dassault Rafale (photo : Economic Times)
Indonesia tidak akan mampu membiayai akuisisi 36 jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation tahun ini apabila mengacu pada Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada, akhir April 2021. Dari Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) senilai US$ 9,3 miliar (Rp 133 triliun).
Sri Mulyani hanya menyetujui 31 kegiatan yang akan mendapatkan fasilitas pendanaan, baik dari Lembaga Pembiayaan Kredit Ekspor (LPKE) maupun Kreditor Swasta Asing (KSA), senilai US$ 5,8 miliar (Rp 83 triliun) dari usulan 87 kegiatan. Program Interim Multirole Combat Aircraft dan dukungannya mendapatkan alokasi pembiayaan senilai US$ 1,1 miliar (Rp 15,75 triliun) dalam PSP, suatu nilai yang tidak akan cukup untuk 36 unit Rafale.
Isu pembiayaan Rafale adalah bagian dari ambisi Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di bawah kepemimpinan Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo untuk melakukan percepatan pembangunan kekuatan melalui pengadaan senjata, apalagi setelah mengusulkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Strategis Pertahanan 2021-2045. Rancangan perpres itu ambisius karena meskipun merupakan pembangunan kekuatan pertahanan hingga 2045. Namun, namun terdapat pemikiran untuk mengkonsolidasikan akuisisi alutsista dalam satu tahapan rencana strategis (renstra) saja, yaitu 2020-2024. Pemikiran demikian beberapa waktu silam melahirkan kontroversi tentang biaya yang dibutuhkan, khususnya dalam bentuk Pinjaman Luar Negeri (PLN).
Berdasarkan Daftar Pinjaman Luar Negeri (DRPLN) 2020-2024 yang diterbitkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, nilai kebutuhan pembelian senjata bagi Kemenhan sangat besar yang tidak dapat disebutkan di sini. Namun, terdapat proses penyaringan dari DRPLN menjadi DRPPLN, begitu pula DRPPLN menuju PSP. Semua itu tergantung pada kemampuan fiskal pemerintah dalam membiayai utang luar negeri, terlebih di masa pandemi Covid-19 saat ini di mana berbagai sektor memperebutkan sumber daya finansial yang terbatas.
Pengadaan major weapon system dari luar negeri sepenuhnya dibiayai oleh PLN. Sebab rupiah murni tidak akan sanggup membiayainya. Penentuan LPKE maupun KSA yang akan membiayai pembelian senjata diputuskan oleh Kementerian Keuangan berdasarkan berbagai pertimbangan teknis. Terkait kontroversi kebutuhan pembiayaan pengadaan alutsista dalam rancangan perpres tentang Rencana Strategis Pertahanan 2021-2045 maupun DRPLN, hal yang tidak banyak disorot adalah lenders yang menawarkan jasanya kepada Indonesia.
Lenders Belanja Pertahanan
Terdapat dua hal yang patut dicermati tentang lenders yang diharapkan membiayai belanja alutsista oleh Kemenhan.
Pertama, profil lenders. Setidaknya terdapat enam lenders utama yang menawarkan jasa pembiayaan akusisi senjata kepada Indonesia hingga 2024. Saat ini lenders baik LPKE maupun KSA lebih beragam ditinjau dari aspek geografis karena hadirnya lenders asal Timur Tengah dan Asia Timur yang mematahkan dominasi lenders Eropa yang sebelumnya selalu membiayai pengadaan major weapon system. Lenders dari kedua kawasan itu menawarkan diri untuk membiayai pembelian complex weapon system bagi Indonesia dan bukan sistem senjata yang teknologinya tidak kompleks.
Dalam pengadaan senjata 20 tahun terakhir, tidak semua lenders asal Eropa memberikan pendanaan untuk akuisisi complex weapon system. Kehadiran lenders dari Timur Tengah dan Asia Timur terkait pula dengan kepentingan ekonomi dan politik dari kedua negara asal lenders untuk memperkuat pengaruh di Indonesia. Penting pula dicatat peran Kemenhan dalam menghadirkan lender asal Timur Tengah di mana lender tersebut siap mendanai pengadaan alutsista dari Eropa.
Kedua, kemampuan pembiayaan lenders. Setiap lender menawarkan besaran pembiayaan yang berbeda kepada Indonesia untuk pengadaan senjata. Apakah enam lenders utama mempunyai kemampuan membiayai DRPLN? Jawaban yang paling mungkin adalah mereka tidak memiliki kemampuan pembiayaan untuk DRPLN, namun masih mempunyai kemampuan untuk memenuhi DRPPLN yang mendapatkan PSP dari Kementerian Keuangan. Kebanyakan lenders hanya menawarkan jasa pembiayaan pada angka satu digit dalam denominasi miliar dolar dan hanya sedikit lender yang sanggup membiayai pada angka dua digit dalam denominasi yang sama.
Berdasarkan data yang tersedia, keenam lenders utama mampu menyiapkan pembiayaan belanja senjata bagi Kementerian Pertahanan secara total antara US$ 30 miliar hingga US$ 35 miliar. Namun nilai demikian baru potensi. Sebab, penentu akhir besaran PLN yang disetujui untuk pembiayaan pertahanan adalah Kemenkeu. Selain itu, di antara lenders yang menawarkan jasa pembiayaan tidak membatasi diri pada sektor pertahanan, tetapi pada sektor pertahanan dan keamanan. Sebagai contoh adalah UKEF yang tawaran pembiayaannya besar, namun berpotensi dipakai pula oleh instansi pada sektor keamanan.
Rancangan Perpres Alutsista
Terkait kontroversi usulan pembiayaan akuisisi senjata dalam rancangan perpres, realitas menunjukkan bahwa tidak ada lender atau gabungan lenders yang mampu membiayai kebutuhan pembelian senjata di atas US$ 35 miliar hingga tahun fiskal 2024. Apalagi untuk membiayai konsolidasi akuisisi alutsista dalam satu tahapan renstra saja, yaitu 2020-2024, yang menurut kalkulasi kasar berkisar antara US$ 200 miliar hingga US$ 300 miliar.
Meskipun hingga tahun anggaran 2024 Kementerian Pertahanan diharapkan masih akan menerima DRPPLN dan PSP, belum dapat dipastikan berapa pembiayaan lenders yang akan mendapatkan persetujuan dari Kemenkeu. Indonesia dapat tercatat sebagai operator Rafale apabila pada tahun fiskal 2022 program akuisisi pesawat tempur itu tercatat dalam DRPPLN dan mendapatkan PSP dari Sri Mulyani.
(CNBC)