RI Gadjah Mada kapal perang permukaan utama pertama yang dimiliki TNI AL pada tahun 1951, merupakan Destroyer N-class buatan Inggris (photo : Indomiliter)
KRI Gadjah Mada - Flagship dan Destroyer Pertama Milik TNI AL
Sudah lumrah jika suatu angkatan laut memiliki flagship. Flagship adalah kapal utama yang punya spesifikasi persenjataan paling mumpuni di suatu armada. TNI AL sebagai salah satu kekuatan laut terbesar di Asia Tenggara dengan sejarah panjang dalam pengabdiannya, sudah dari dulu mengenal flagship dalam beberapa periode yang berbeda.
Di masa modern ini kita mengenal frigate Martadinata Class serta korvet Diponegoro Class yang bisa dianggap sebagai flagship TNI AL, karena dari perangkat pendukung, kedua jenis kapal ini adalah yang paling canggih.
Mundur ke dekade 90-an, frigate kelas Van Speijk yang dibeli bekas dari Belanda adalah yang paling canggih di masanya.
Mundur lagi ke dekade 80-an, kita mengenal frigate kelas Fatahillah (KRI Fatahillah, KRI Malayahati, dan KRI Nala) yang merupakan kapal perang termodern di kala itu, karena kapal ini dibeli gres dari Belanda.
Mundur lagi di tahun 70-an, tercatat ada tiga perusak kawal (destroyer escort) kelas Claude Jones yang statusnya bekas pakai dari Angkatan Laut Amerika.
Namun, ketika kita mencoba mundur lagi pada awal era 1950-an, sebenarnya TNI AL yang waktu itu masih bernama ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) pernah memiliki kapal flagship pertamanya. Seperti ungkapan Bung Karno, 'Jasmerah' (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah), maka keberadaan kapal perang ini pantas diketahui seluk beluknya lebih dalam. Walau sosoknya sudah tak bisa kita lihat, akan tetapi KRI Gadjah Mada bisa dibilang menjadi cikal bakal modernisasi kapal TNI AL.
Proses serah terima kapal dari Belanda
Awal mula Indonesia mendapat flagship pertamanya ini berawal dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di tahun 1949, salah satu hasil dari KMB adalah bahwa pihak Belanda menghibahkan beberapa persenjataannya untuk militer Indonesia. Beberapa persenjataan yang dihibahkan antara lain pesawat P-51D Mustang, tank Sherman, kapal perusak (destroyer) kelas N yang mulai diterima pada tahun 1951.
Sebelum dihibahkan ke Indonesia, nama kapal ini adalah HrMs Tjerk Hiddes. Kapal destroyer ini aktif berperang selama Perang Dunia Kedua. Tidak banyak foto yang diabadikan dari sosok KRI Gadjah Mada, tetapi kapal ini punya banyak “saudara,” artinya tidak dibuat dalam satu unit.
Destroyer yang disebut sebagai N Class ini dibuat di Inggris oleh galangan W. Denny & Bros, Dumbarton di tahun 1939. Jumlah destroyer kelas N total ada 9 unit, semuanya digunakan oleh Angkatan Laut Inggris (Royal Navy). Kesembilan kapal itu terdiri dari HMS Noble (G84), HMS Nonpareil (G16), HMS Napier (G97), HMS Nestor (G02), HMS Nizam (G38), HMS Norman (G49), HMS Nepal (G25), dan HMS Nerissa (G65).
Karena mulai berkecamuknya Perang Dunia 2, maka Inggris menghibahkan kapal destroyer ini ke negara sekutunya untuk menghadapi NAZI Jerman. Dua kapal, yakni HMS Noble (G84) dan HMS Nonpareil (G16) dihibahkan ke Belanda. Kemudian lima kapal, HMS Napier (G97), HMS Nestor (G02), HMS Nizam (G38), HMS Norman (G49), HMS Nepal (G25) dihibahkan ke Australia, dan sisanya HMS Nerissa (G65) dihibahkan ke Polandia.
Belanda mulai menerima hibah kapal ini pada tahun 1942, HMS Noble kemudian berganti nama jadi HrMs Van Galen, dan HMS Nonpareil berganti nama jadi HrMs Tjerk Hiddes. Sebelum berpindah tangan ke Belanda, kapal perusak ini dulunya digunakan membentengi Scapa Flow dari serangan torpedo U-Boat Jerman. Scapa Flow adalah pangkalan utama armada Angkatan Laut Inggris di pesisir utara Skotlandia.
Setelah resmi berdinas bersama Angkatan Laut Belanda, HrMs Tjerk Hiddes banyak ditugaskan di perairan Timur Tengah, perairan Afika Selatan, hingga Pasifik. Kebanyakan misi kapal perusak ini adalah melindungi konvoi kapal dagang dari serangan Angkatan Laut Jerman.
HrMs Tjerk Hiddes pertama kali dibangun pada 22 Mei 1940 di galangan W. Denny & Bros, Dumbarton, Inggris. Kemudian kapal menyandang nama HMS Nonpareil, resmi diluncurkan pada 25 Juni 1941 dengan nomor lambung G-16. Seiring waktu berjalan, kapal ini diserahkan kepada Belanda pada 6 Mei 1942. Selama menjadi arsenal kekuatan Belanda, HrMs Tjerk Hiddes diketahui sempat beberapa kali dilakukan pergantian nomer lambung, seperti JT (Jaeger Torpedo)-5 dan D-806.
Persenjataan
Dari sisi persenjataan, kapal perusak dengan berat kosong 1.670 ton ini dibekali senjata berupa 6 unit meriam 4.7 inchi kaliber 120 mm, 4 unit meriam Pompom MK8 kaliber 40 mm, dan 6 unit meriam Oerlikon kaliber 20 mm. Senjata Itu digunakan untuk melahap target di permukaan dan udara, sementara untuk menghadapi kapal selam tersedia heavy torpedo, yakni 2 unit peluncur torpedo MK9 21 inchi. Setiap peluncur terdapat 5 torpedo yang siap dilepaskan.
Sebagai tambahan senjata untuk menghancurkan kapal selam, kapal perusak ini kemudian dilengkapi mortir anti kapal selam dan bom laut lewat 1 rel. Sebagai media penjejak kapal selam dipercayakan pada perangkat akustik 123 A ASDIC. Dilihat dari sisi persenjataan yang melekat, sebagian besar adalah rancangan dari era Perang Dunia Pertama.
Usia mesin turbin yang cukup tua, biaya operasional yang tinggi, serta sistem senjata yang sudah kuno menjadi dasar dibesi-tuakannya KRI Gadjah Mada dari inventaris armada kapal ALRI. Sebelum di scrap, kabarnya kapal ini sempat dijadikan kapal latih. Mengenai penugasan dalam operasi militer, KRI Gadjah Mada pernah dilibatkan secara penuh dalam mendukung penumpasan PRRI/Permesta tahun 1958.
Meriam kaliber 120 mm yang terpasang pada KRI Gadjah Mada menggunakan pola tembakan semi otomatis, mempunyai jarak tembak maksimum 14.632 meter, dan jarak tembak efektif 9.144 meter. Kapalnya memang tidak dapat kita jumpai, karena sudah di scrap tahun 1961. Tapi meriam 120 mm-nya masih dapat dilihat, meriam tersebut berada di Museum Satria Mandala. Meriam ini menjadi koleksi meriam terbesar di museum tersebut.
Nama Gadjah Mada sudah dua kali dipakai dalam arsenal ALRI (TNI AL), sebelumnya ada RI Gadjah Mada dalam wujud tug boat yang dipersenjatai meriam Oerlikon 20 mm, kapal ini rusak dan tenggelam dalam pertempuran di laut Cirebon pada tanggal 5 Januari 1947. Kemudian nama Gadjah Mada digunakan kembali untuk sosok destroyer pertama TNI AL.
Alasan dibesi-tuakannya KRI Gadjah Mada adalah karena usia mesin turbin yang cukup tua, biaya operasional yang tinggi, serta sistem senjata yang sudah kuno. Sebelum di scrap, kapal ini juga sempat dijadikan kapal latih.
Periode tahun 1955-1970
TNI AL sudah tidak asing dengan penggunaan kapal jenis destroyer, setelah pensiunnya KRI Gadjah Mada, matra laut masih terus mendapat varian destroyer dari berbagai negara. TNI AL mendapatkan generasi destroyer yang bernama Almirante Clemente Class (2 unit) buatan Italia, didatangkan pada periode 1957-1959.
Kemudian menyambut Operasi Trikora, TNI AL kedatangan destroyer kelas Skorry (8 unit) buatan Uni Soviet yang dibeli dari Polandia di tahun 1964. Dan terakhir, di tahun 1970-an TNI AL memiliki perusak kawal kelas Claude Jones (4 unit), armada destroyer escort ini mengakhiri pengabdiannya untuk NKRI pada tahun 2003.
Data RI Gadjah Mada (N-Class)
Negara Asal: Inggris
Galangan Kapal: W. Denny & Bros (UK)
Ukuran (P x L x T) : 99,5 x 10,9 x 2,74 meter
Berat kosong: 1.670 ton
Berat penuh: 2.330 ton
Mesin: 2 steam turbin dengan dua baling-baling
Tenaga: 4000 shp
Kecepatan Maks.: 36 knots
Kecepatan Jelajah: 15 knot
Kapasitas BBM: 611 ton
Jarak Jelajah Maks.: 10.400 km
Awak: 183-247 orang
Persenjataan:
-6 x meriam 4.7 inchi kaliber 120mm,
-4 x meriam Pompom MK8 kaliber 40mm,
-6 x meriam Oerlikon kaliber 20 mm,
-2 x peluncur torpedo MK9 21 inchi
Negara Pengguna: Inggris, Australia, Belanda, Polandia, Indonesia