Anton “Sioux” Pallaguna pernah menjajal pesawat Rafale (photo : TNI AU)
Indonesia dikabarkan berminat membeli 48 pesawat jet tempur Rafale dari Perancis untuk memperkuat TNI Angkatan Udara (AU). Kabar ini diwartakan situs berita Perancis, La Tribune pada 17 Januari lalu.
Media itu menyebutkan bahwa minat pemerintah Indonesia terhadap jet tempur multiperan pabrikan Dassault Aviation diutarakan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto saat melakukan kunjungan ke Paris pada 11-13 Januari lalu.
Menurut sumber internal La Tribune, pembelian ini bakal diwujudkan dalam kesepakatan antar-pemerintah Perancis dan Indonesia, yang diharapkan bisa terwujud dalam waktu dekat.
Dassault Rafale merupakan jet tempur bermesin ganda dengan ciri khas sayap delta dan canard (sayap kecil) di bagian bawah kokpit, yang sangat efektif untuk menghasilkan gaya angkat dan menambah kelincahan bermanuver.
Jet tempur yang teleh teruji tempur ini tercatat telah dua kali mampir ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Terakhir kali kali, jet tempur ini datang ke Indonesia pada 18 Mei 2019. Saat itu tujuh Rafale varian M (maritim, untuk kapal induk) Angkatan Laut Perancis melakukan pendaratan darurat di Lanud Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, lantaran cuaca buruk.
Sementara kehadiran pertamanya pada Maret 2015 lalu, AU Perancis (Armée de l’Air) sempat mendemonstrasikan kebolehan manuver jet tempurnya itu di langit Halim.
Rafale melaksanakan air refuelling (photo : DefenseNews)
Kedatangan empat pesawat tersebut merupakan bagian dari misi Misi Pegasus 2018 untuk mengunjungi beberapa pangkalan udara negara sahabat yang ada di daratan Benua Asia. Melalui misi ini, AU Perancis bermaksud ingin membuktikan kemampuan-kemampuan tempur pesawat dengan ekor sirip tegak tunggal dan elevons (bagian bergerak dari ujung sayap delta) besar ini kepada TNI AU.
Pada kesempatan ini, dua pilot senior TNI AU berkesempatan duduk di kursi belakang untuk mengulas langsung keandalan jet tempur eksotis ini pada 21 Agustus 2018. Lalu, bagaimana impresi pilot tempur TNI AU usai menjajal langsung jet tempur generasi 4,5 tersebut?
Kedua pilot tempur TNI AU yang menjajal pesawat itu adalah Letkol Pnb Muchtadi Anjar “Beagle” Legowo, pilot senior F-16 Fighting Falcon dan Letkol Pnb Anton “Sioux” Pallaguna, pilot Sukhoi Su-27/30 Flanker yang saat itu menjabat Komandan Skadron Udara 11.
Pesawat beregistrasi 4-FO yang diterbangkan Capt. Vincent “Dingo” bersama Anton “Sioux” berperan sebagai Flight Leader. Sementara pesawat dengan registrasi 4-FN yang diterbangkan langsung Komandan Skadron Udarnya, LtC. Moko bersama Anjar “Beagle” berperan sebagai Wingman.
Area udara di selatan Pelabuhan Ratu (bravo area) dipilih sebagai lokasi demo karena memang wilayah ini steril dari lalu lintas penerbangan sipil. Berbagai manuver misi penyerangan dilakukan di lokasi ini, dan bermain mulai dari ketinggian 0 hingga 40.000 kaki di atas permukaan laut.
Rafale menenteng rudal jelajah Scalp (photo : spmrf)
Hampir selama 2 jam kedua penerbang senior TNI AU itu diberikan kesempatan untuk menerbangkan langsung Rafale B. Sesuai dengan permintaan, berbagai misi dilaksanakan untuk merasakan superioritas pesawat ini.
Diungkapkan Anton kepada penulis, karena Rafale merupakan pesawat jet tempur yang superior secara avionik, makanya ia pun minta demo BVR (Beyond Visual Range) air-to-air combat kepada AU Perancis. Alasannya, bicara teknologi, maka demo BVR yang perlu untuk diketahui bukan dogfight (pertempuran udara dengan manuver jarak pendek). Karena menurutnya, pesawat Sukhoi sudah rajanya soal dogfight.
“Dia (Rafale) superior saat Pitch Black (2018) kemarin, karena radarnya sudah AESA (active electronically scanned array),” ujarnya.
Demo BVR atau pertempuran jarak jauh (di luar jarak pandang) menjadi cicipan pembuka. Secara berturut-turut, demo misi atau pertempuran udara lainnya yang dijajal Anton dan Anjar adalah close combat (pertempuran jarak dekat), simultaneous multiple DPI surface attack (serangan ke beberapa sasaran permukaan secara bersamaan) dan tactical contour flying (terbang rendah mengikuti permukaan bumi).
Belum berhenti sampai di situ, kemampuan lain Rafale yang dicoba selanjutnya adalah TFR, optronic operation (demo fungsi sensor optik dan elektronis), targeting dynamic target (memilih dan menyerang beberapa sasaran bergerak), aerobatik, ground mapping menggunakan radar SAR, data link operation secara terbatas, formasi jarak dekat, hingga tactical break-off pada saat mendarat.
Usai menjajal seluruh kapabilitas yang dimiliki jet tempur tersebut, Anton mencatatkan beberapa hal menarik sebagai resensi. Menurutnya, Rafale mampu mengusung berbagai peran mulai dari reconnaisance, deliberate strike, anti-ship strike, air policing, air supremacy, deterrence, hingga ground force support.
Rafale bermuatan penuh (photo : Armee De l'Air)
Dari sisi rancang bangun, menurut Anton, jet tempur ini memiliki load capability yang dilengkapi dengan 14 store stations, 5 heavy/wet points dan 9,5 ton external load.
Sementara dari sisi teknologi, pesawat ini di dukung dengan berbagai sensor dan data fusion, kemampuan electronic warfare, sistem radar AESA RBE2-AA buatan Thales Group, advanced MMI concept, dan integrated testability covering all system (self-diagnosis available).
Anton menjelaskan, selain itu, pesawat ini juga memiliki integrated sensor suite yang cukup kompleks, sehingga pesawat dapat berbagi informasi melalui data link dengan pesawat AEW dan ground station. Rafale juga dilengkapi dengan integrarted passive optronic identification dan spectra integrated electronic warfare suite.
Dia menyebutkan, khusus untuk imaging data fusion; seluruh data dari semua sumber (radar AESA, IR missile, EWS spectra, data link, sistem IFF, optronics FSO+IFF, C4ISR/C2, data pesawat wingman) tergabung dan diolah dalam satu komputer inti yang menghasilkan tracking system. Output-nya dapat dilihat melalui display dan network.
Soal keunggulan taktis dalam pertempuran udara, kata Anton, Rafale untuk misi dibekali rudal MICA RF dan MICA IR untuk menghajar objek lawan pada jarak dekat maupun jarak jauh. Terintegrasinya sistem sensor dan senjata menjadikan Rafale memiliki kemampuan untuk melakukan mengunci banyak target dan menghajarnya sekaligus serta memiliki kemampuan off-boresight.
Kokpit Rafale (photo : Paulino Mota)
Tak hanya mampu bertempur dengan target lawan di udara, Rafale juga mampu meninju lawan-lawan yang ada di darat. Pesawat ini mampu melakukan serangan baik berupa deliberate maupun dynamic targeting dengan extended range, fire and forget, all weather strike, meter class precision, dan menyerang 6 sasaran sekaligus dalam sekali lewat.
Terakhir, untuk kemampuan misi antikapal, Rafale mampu mendeteksi, mengidentifikasi, serta menyerang sasaran dari ketinggian sangat rendah dalam segala kondisi cuaca.
“Kemampuan misi anti kapal; mampu untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menyerang sasaran untuk all weather very low level flight capability, data fusion, passive target discrimination, integrated EW suite,” paparnya.
Jet tempur Rafale AU Perancis yang dilengkapi dengan segala jenis avionik dan persenjataan modern, menjadikan pesawat ini mampu melaksanakan supremasi udara (air supremacy), interdiksi atau pencegatan (interdiction), pengintaian udara (aerial reconnaissance), dukungan darat (ground support), serangan mendalam (in-depth strike), serangan antikapal (anti-ship strike), hingga misi pencegahan nuklir (nuclear deterrence mission).
Dengan segudang kemampuan jet tempur berpostur tubuh kecil ini, tidak berlebihan bila AU perancis menyandangkan gelar ‘Omnirole fighter aircraft’ kepada Rafale. Tak heran bila pesawat generasi 4,5 dengan dua mesin Snecma M88-2 ini menjadi perhatian dalam laga Pitch Black yang berlangsung pada 27 Juli – 17 Agustus 2018.
Dengan segudang kemampuannya tersebut, pantaslah jika AU Perancis mempercayakan Dassault Rafale untuk mengemban berbagai misi operasi. Selain kesohor di Perang Libia, Rafale juga telah tampil di medan panas lainnya, yakni Afganistan, Irak, Mali, dan Suriah.
(IndoAviation)