Akuisisi Typhoon Austria dan Peluang ToT Bagi Indonesia

03 September 2020

Typhoon Angkatan Udara Austria (photo : Gerhard Vysocan)

Akuisisi Typhoon Austria: Pintu Masuk Loncatan Teknologi Pesawat Tempur Indonesia?

NUSANTARANEWS.CO –Akuisisi Typhoon Austria bisa menjadi pintu masuk loncatan teknologi pesawat tempur Indonesia.  Melihat Program The Falcon Structural Augmentation Rodmap (Falcon Star) Enhanced Mid-Life Update (eMLU) dan kemampuan para Spesialis Teknik 042 Lanud Iswahjudi mengupgrade dua jet tempur F-16 A/B Blok 15 milik TNI AU yang sudah di atas 6.000 jam, baik modifikasi struktur, avionik, radar dan persenjataan patut diapresiasi. Kini Pesawat buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat (AS) tersebut, memiliki kemampuan Beyond Visual Range (BVR) sehingga dapat dipersenjatai dengan Advance Medium Range Air To Air Missile AAMRAM-C dan Air Intercept Missile AIM-9 X atau sekelasnya.

Boleh dikata, F-16 A/B eMLU telah sejajar dengan pesawat tercanggih di kelasnya dengan ditanamkan ALR-69 Radar Warning Receiver (RWR), ALQ-213 Electronic Warfare Management System (EWMS), ALE-47 Countermeasures, dan New radar APG-68 (V) 9. Bahkan memperpanjang usia operasional pesawat hingga 14.000 EFH (equivalent flight hours).

Program upgrade ini jelas merupakan penghematan yang luar biasa dibandingkan dengan membeli pesawat baru yang harganya bisa mencapai US$ 90 juta per unitnya. Dengan anggaran sekitar US$ 10 sampai 12 juta per pesawat, kini F-16 eMLU tidak kalah gahar dengan F-16 Viper.

Modernisasi Typhoon Tranche 1 Spanyol

Spanyol telah memulai program modenisasi perangkat keras dan perangkat lunak Typhoon Tranche 1 nya menjadi standar Tranche 3. Program upgrade yang dikembangkan oleh Airbus mencakup modifikasi yang mengintegrasikan peralatan Tranche 2 dan Tranche 3 di pesawat, seperti Computer Symbol Generator, Digital Video and Voice Recorder, Laser Designator Pod dan Maintenance Data Panel. Termasuk integrasi rudal Meteor yang menjadi andalan produksi konsorsium perusahaan Eropa yang dipimpin oleh MBDA. Menjadi teknologi Eropa sepenuhnya yang revolusioner.

Peningkatan Fase 3 (P3EB) adalah mengintegraiksn radar Captor E-Scan baru (dikenal sebagai Radar One Plus, atau Captor E Mk0), turunan active electronically scanned array (AESA). Pabrikan mengklaim, “Standar ini adalah varian paling canggih dari jet tempur yang pernah dibuat” untuk meningkatkan kapasitas deteksi, serangan dan identifikasi; Mode SAR (radar apertur sintetis); transmisi gambar; pengukuran elektromagnetik; dan integrasi senjata pintar.”

Typhoon tranche 3 (image : Airbus)

Integrasi radar E-Scan adalah program dwi-nasional yang melibatkan Spanyol dan Jerman. Seperti untuk standar ekspor “Typhoon Kuwait” misalnya, Kemampuan operasional penuh akan mencakup radar E-scan yang ditingkatkan, kemampuan jangkauan penuh Sniper yang ditingkatkan, peningkatan pod P5 ACMI, Bom Dipandu Presisi GBU-31 JDAM, Mk 82, 83, dan 84 serta rudal Meteor, AIM-120 AMRAAM (hingga AIM-120C7). Pesawat juga akan memiliki kemampuan navigasi VOR.

Andai Indonesia Beli Typhoon Austria

Modernisasi Typhoon Tranche 1 ke standar Tranche 3 Spanyol tidak jauh berbeda dengan program Falcon Star-eMLU F-16 Blok 15 Indonesia. Singapura pun telah mulai mengupgrade 60 F-16 C/D setara Viper dengan anggaran US$ 40 – 50 juta per unitnya di Lockheed Martin Aeronautics, Fort Worth, Texas dan di Singapura. Amerika Serikat (AS) sendiri juga mulai memodenisasi kemampuan armada F-15 Eaglenya untuk menghadapi perang elektronik di masa mendatang. Bahkan hampir sebagian besar jet tempur Typhoon akan diupgrade dengan mengintegrasikan radar Captor-E (E-Scan) pada tahap selanjutnya.

Kembali ke masalah pembelian Typhoon Austria. Benarkah Indonesia akan rugi bila membelinya? Mari kita berandai-andai.

Bila Indonesia jadi membeli dengan 1 skuadron dengan harga miring, katakan US$ 500 juta setelah mendapat persetujuan dari Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris, Indonesia dapat meminta paket modernisasi paling tidak sama dengan standar Tranche 3 Spanyol. Selain itu, ada paket imbal beli yang bisa dinegosiasikan sebesar US$3,5 miliar (kesepakatan offset senilai 200% dari harga pembelian oleh Austria) yang bisa melibatkan perusahaan dan tenaga kerja Indonesia. Di samping TOT tentunya.

Belajar dari kejasama IPTN Indonesia dan Construcciones Aeronauticas SA (CASA) Spanyol, Indonesia akhirnya mampu memproduksi CN-235 yang saat ini menjadi pesawat paling sukses pemasarannya dikelasnya sebagai pesawat regional dan angkut militer. Lebih dari 250 pesawat dari semua versi CN-235 melayani lebih dari 30 negara, dan telah mengumpulkan lebih dari 500.000 jam terbang.

Dengan program upgrade jet tempur Tyhpoon, Indonesia dapat melakukan loncatan teknologi dalam waktu singkat dengan meningkatkan kerjasama strategis IPTN-CASA – dengan target pembuatan jet tempur Typhoon di dalam negeri. Paling tidak dengan mengintegrasikan proyek IFX ke dalam program semacam “IFX Eurofighter” tampaknya tidak akan banyak kesulitan, karena standar teknologi KFX Korea Selatan juga masih standar AS (Barat).

Jet tempur IFX Indonesia juga bisa menggunakan mesin EJ200 Eurofighter, termasuk sistem persenjataan dan teknologi radarnya. Prancis bahkan telah menawarkan mesin dassault untuk proyek IFX.

European Aeronautic Defence and Space Company (EADS) adalah sebuah perusahaan industri dirgantara besar Eropa, dibentuk dengan penggabungan pada 10 Juli 2000 Aérospatiale-Matra dari Perancis, Dornier GmbH dan DaimlerChrysler Aerospace AG (DASA) dari Jerman, dan Construcciones Aeronáuticas SA (CASA) dari Spanyol.

E-Scan AESA radar (photo : BAE Systems)

Eurofighter Typhoon dirancang oleh 4 negara, yakni Inggris, Jerman, Italia dan Spanyol, dengan melibatkan perusahaan kedirgantaraan dan pertahanan terkemuka masing-masing negara: Eurofighter Jagdflugzeug GmbH, yang berbasis di Munich dan sepenuhnya dimiliki oleh BAE Systems dari Inggris, Alenia Aerospazio dari Italia dan EADS Deutschland (sebelumnya DaimlerChrysler) dan EADS Spanyol (sebelumnya CASA). Prancis mengundurkan diri karena fokus dengan Dassault Rafalenya.

Pesawat tempur sayap delta dengan kemampuan tempur di luar jangkauan visual, serangan permukaan serta kemampuan ‘supercruise’ dan terbang dengan kecepatan lebih dari Mach 1 tanpa menggunakan afterburner, diproduksi sebanayk 620 pesawat, ditandatangani pada Januari 1998, dengan 232 untuk Inggris, 180 untuk Jerman, 121 untuk Italia dan 87 untuk Spanyol.

Pesanan awal telah diselesaikan untuk 148 pesawat: Jerman (44), Italia (29), Spanyol (20) dan Inggris (55). Pelanggan utama adalah NATO Eurofighter and Tornado Management Agency (NETMA), yang mewakili empat pemerintah. Produksi seri pesawat sedang berlangsung di EADS Military Aircraft (Jerman), BAE Systems, Alenia Aerospazio dan EADS CASA (Spanyol). Pengoperasian perdana pada Februari 2003 dan pengiriman akhir dijadwalkan pada 2015.

Angkatan Udara Austria (Luftstreitkräfte) menerima Eurofighter Typhoon pertama pada 2007, sedangkan Arab Saudi menerima pesawat pertama pada 2008.

4 negara inti dari konsorsium pendiri menerima tahap kedua dari pesawat, yang melakukan percobaan penembakan rudal udara-ke-udara (AMRAAM) jarak menengah saat radar dalam mode pasif, untuk menunjukkan kemampuan mengunci sasaran secara senyap.

Juga pada tahun itu, ditetapkan pesawat akan menerima upgrade setiap dua tahun dan upgrade perangkat keras utama setiap empat tahun. Pada 2010, pesawat ini menampilkan sistem simbologi yang dipasang di helm canggih (HMSS).

Pada November 2011, pesawat ke-300 dikirim ke Angkatan Udara Spanyol. Pada Desember 2012, sebuah kontrak untuk pasokan 12 pesawat ke Kesultanan Oman ditandatangani. Pada 2013, kontrak ditandatangani untuk integrasi Meteor dan Peningkatan Fase 2 (P2E). Pada tahun yang sama, Eurofighter ke-400 dikirim ke Angkatan Udara Jerman.

Selama 2014, upgrade P1E mulai beroperasi, kontrak integrasi Storm Shadow ditandatangani serta kontrak untuk pengembangan radar Captor-E (E-Scan) untuk Typhoon pada 2020. Pada Februari 2015, kontrak Fase 3 Enhancements (P3E) ditandatangani selama Pameran Pertahanan IDEX.

(NusantaraNews)

Subscribe to receive free email updates: