Armada TNI AL dalam HUT TNI ke-72(photo : Kompas)
........................
........................
........................
Berubah Drastis
Situasi berubah drastis setelah pergolakan politik dalam negeri tahun 1965. Kekacauan politik tersebut berimbas pada kekuatan ALRI. Kapal perang terbesar dalam sejarah Indonesia, yakni RI Irian 201, nyaris telantar dan akhirnya dibesituakan tahun 1971.
Kekuatan maritim Indonesia nyaris mati suri hingga Operasi Seroja tahun 1975 ke Timor Timur. Kekuatan Korps Marinir TNI AL, yang sebelumnya disebut Korps Komando Operasi ALRI, menjadi ujung tombak pendaratan ke Timor Timur.
Korvet Sigma-90 class dan fregat Sigma 10514 class TNI AL (photo : Indonesian Navy Power)
Seiring perubahan haluan politik dalam negeri, pengadaan alutsista pun bergeser dari tadinya bersumber dari negara-negara Pakta Warsawa atau Blok Timur ke negara-negara anggota NATO alias Blok Barat. Khusus di TNI AL, pada dekade 1970-an ini ditandai dengan pembelian empat kapal fregat kelas Claud Jones bekas pakai AL AS.
Kapal-kapal perang yang dibuat pada dekade 1950-an itu kemudian resmi berdinas di TNI AL dengan nama KRI Samadikun (eks USS John R Perry), KRI Wolter Monginsidi (eks USS Claud Jones), KRI Martadinata (eks USS Charles Berry), dan KRI I Gusti Ngurah Rai (eks USS McMorris). Kapal-kapal ini bertugas di TNI AL pada tahun 1999-2003.
Fregat ringan F-2000-90 Bung Tomo class (photo : Antara)
Modernisasi alutsista dilanjutkan pada era 1980-an dengan pengadaan sejumlah kapal perang berupa korvet dan fregat. Awal 1980-an, modernisasi dilakukan dengan membeli kapal perang bekas AL Inggris atau Royal Navy.
Tepatnya pada 1984, tiga kapal fregat kelas Tribal eks Royal Navy itu mulai dibeli. Kapal yang dibeli Indonesia adalah eks HMS Gurkha (kemudian menjadi KRI Wilhelmus Zakarias Yohannes), HMS Tartar (menjadi KRI Hasanuddin), dan HMS Zulu (menjadi KRI Martha Christina Tiahahu). Kapal-kapal yang dibangun tahun 1960 itu diperlengkapi helikopter Westland Wasp untuk operasi antikapal selam.
Korvet Sigma-90 Diponegoro class TNI AL (photo : Kompas)
Semasa masih menjadi bagian Royal Navy, kapal-kapal perang ini menjadi bagian dari armada pertahanan Kepulauan Inggris semasa Perang Falkland atau Perang Malvinas. Kapal-kapal tersebut digunakan TNI AL sejak tahun 1984 hingga tahun 1999.
Salah satu pengadaan kapal perang paling besar pada periode ini adalah pembelian enam kapal fregat kelas Van Speijk eks AL Kerajaan Belanda pada periode 1986-1989. Kapal-kapal ini kemudian diberi nama KRI Ahmad Yani (nomor lambung 351), KRI Slamet Riyadi (352), KRI Yos Sudarso (353), KRI Oswald Siahaan (354), KRI Abdul Halim Perdanakusuma (355), dan KRI Karel Satsuit Tubun (356). Mereka masih menjadi salah satu tulang punggung kekuatan TNI AL hingga saat ini.
Kapal selam Type 209 class TNI AL (photo : Kompas)
Lalu, pada tahun 1992, dibeli 39 kapal perang bekas eks Jerman Timur senilai 442 juta dollar AS. Armada kapal yang dibeli adalah kapal penyapu ranjau kelas Kondor sebanyak 9 unit, kapal pendarat Frosch sebanyak 14 unit, dan 16 kapal korvet Parchim.
Rencana Armada TNI AL (all images : Kompas)
KSAL Laksamana Ade Supandi mengenang masa-masa saat ia masuk dalam tim penjemputan kapal-kapal Van Speijk dari Belanda dan kapal-kapal Parchim dari Jerman. Kapal-kapal itu dilayarkan langsung dari negara asalnya ke Indonesia. Saat menjemput Van Speijk, kata Ade, sekali penjemputan dua kapal dibawa bersama-sama.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati dicoba dilakukan modernisasi yang lalu di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai dirancang minimum essential forces tahun 2010 yang ditujukan membangun kesiapan kekuatan TNI Angkatan Laut dalam kurun hingga tahun 2019 dan tahun 2025.
Pada periode inilah, TNI AL mulai membeli kapal-kapal perang utama dengan desain terkini yang dipesan di sejumlah galangan kapal luar negeri dan sebagian mulai dibangun di dalam negeri.
Dari Proyek Ship Integrated Geometrical Modularity Approach (SIGMA), yang dikerjakan PT PAL bersama galangan kapal Damen Schelde Naval Shipbuilding asal Belanda, dihasilkan dua kelas kapal perang, yakni kapal korvet kelas Diponegoro (desain SIGMA 9113) dan kapal fregat (perusak kawal rudal/PKR) kelas RE Martadinata (desain SIGMA 10514) yang lebih besar.
Empat kapal korvet kelas Diponegoro telah bertugas saat ini adalah KRI Diponegoro (365), KRI Sultan Hasanuddin (366), KRI Sultan Iskandar Muda (367), dan KRI Frans Kaisiepo (368). Sementara dari fregat kelas Martadinata, baru dua kapal yang bertugas, yakni KRI RE Martadinata (331) dan KRI I Gusti Ngurah Rai (332) yang baru saja diresmikan pada 10 Januari 2018. Ini adalah kapal perang ketiga di jajaran TNI AL yang diberi nama KRI I Gusti Ngurah Rai setelah pertama pada era 1960 dan kedua pada era 1970-an.
Selain itu, TNI AL juga memesan kapal landing patform dock dari DaeSun Shipbuilding, Korea Selatan, yang sebagian juga dibangun di dalam negeri bersama PT PAL. Kapal-kapal yang juga bisa menjadi pusat komando di laut ini kemudian dinamakan kapal kelas Makassar, terdiri dari KRI Makassar (590), KRI Surabaya (591), dan kapal kelas Banjarmasin yang lebih panjang, yaitu KRI Banjarmasin (592) dan KRI Banda Aceh (593). Bahkan, PT PAL sudah mengekspor kapal sejenis untuk Angkatan Laut Filipina.
Kemudian, dibeli tiga korvet buatan Inggris yang dipesan Angkatan Laut Brunei dari kelas Nakhoda Ragam, yakni KRI Bung Tomo (357), KRI John Lie (358), dan KRI Usman Harun (359). Sementara kapal selam terbaru hasil kerja sama Indonesia-Korea Selatan adalah KRI Nagapasa (403), menambah kekuatan kapal selam lama, yakni KRI Cakra (401) dan KRI Nanggala (402).
Setelah Nagapasa, juga sedang dibangun sejumlah kapal selam kelas Changbogo. Berbagai galangan kapal dalam negeri juga membangun puluhan kapal patroli cepat yang dipersenjatai rudal C 705 buatan China yang merupakan pengembangan berbasis rudal Exocet buatan Perancis yang sukses digunakan dalam Perang Falkland 1982.
Yang menarik, kapal perang Indonesia sebagian di antaranya dapat menjadi platform penembakan rudal Yakhont buatan Rusia yang memiliki jangkauan hingga 300 kilometer. Rudal tersebut digunakan dalam perang di Suriah dan hanya Indonesia dan Suriah yang menjadi operator rudal Yakhont di luar Rusia. Awal Januari 2018, sejumlah helikopter antikapal selam baru, yakni AS-565 Panther, juga memperkuat TNI AL. Saat ini, lebih dari 100 kapal dari berbagai jenis sudah dimiliki TNI AL untuk menjadi bagian dari strategi membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Menghadapi tantangan ke depan, Laksamana Ade Supandi mengatakan, kekuatan Armada RI nantinya akan dibagi dalam tiga armada berdasarkan wilayah operasi, yakni Armada Barat, Armada Tengah, dan Armada Timur. Saat ini, TNI AL baru memiliki dua armada, yakni Armada Barat dan Armada Timur.
See full article Kompas