Mantan Pilot F-16 TNI AU Mereview Pesawat Tempur Su-35

01 Februari 2020


Pesawat tempur Sukhoi Su-35 (photo : Julian Herzog)

Purnawirawan TNI AU: Jangan Terlalu Berharap dengan Su-35

Seorang purnawirawan TNI Angkatan Udara berpendapat bahwa jangan terlalu besar memberi harapan terhadap jet tempur Sukhoi Su-35 Flanker E. Ada empat alasan yang dikemukakan Marsdya TNI (Purn) Eris Heriyanto terkait pendapatnya tersebut.

Alasan pertama, alumni Akademi Angkatan Udara tahun 1976 ini mengatakan bahwa platform Su-35 merupakan pengembangan dari jenis sebelumnya, yakni Su-27 Flanker. Seperti diketahui, Su-27 merupakan jet tempur generasi ke-4, sementara Su-35 generasi 4++. Akan terkesan tanggung bila Indonesia mengakuisisi Su-35, karena jet tempur generasi ke-5 dengan kemampuan siluman telah hadir.

“Kemampuan platform ini (Su-35) bagus dikecepatan rendah dan stabilitasnya,” imbuh Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional periode 2006-2007 ini kepada IndoAviation beberapa waktu lalu.

Merujuk pada sejarah bangsa ini, kekuatan udara Indonesia pernah disegani dunia internasional. Bagaimana tidak, pada tahun-tahun awal kemerdekaan Angkatan Udara Indonesia pernah disokong sejumlah pesawat paling canggih di masanya.

Pesawat-pesawat itu antara lain adalah pembom strategis Tupolev Tu-16 Badger; pesawat intai OV-10 Bronco dan P-51 Mustang; pesawat tempur F86F Sabre, MiG-15 Fagot, dan MiG-17 Fresco, MiG-19 Farmer, dan MiG-21 Fishbed.

Meskipun pada saat itu perekonomian belum sangat kuat, ditambah lagi stabilitas politik hingga keamanan rutin dipecahkan Belanda dan pemberontak lokal, tapi Indonesia masih mampu mengakuisisi deretan pesawat legendaris tersebut.

Walaupun kondisi perekonomian Indonesia saat ini mengalami degradasi ketimbang sejumlah negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, mungkin pemerintah perlu mempertimbangkan kembali untuk memperkuat TNI AU dengan generasi pesawat yang superior pada era sekarang seperti jet tempur generasi ke-5 yang berkemampuan siluman dan memiliki radar aktif.

Alasan kedua, dari segi avionik Flanker E hanya didukung radar pasif PESA (passive electronically scanned array). Padahal jet tempur sekelasnya seperti Saab JAS 39E/F Gripen, Dassault Rafale, dan Eurofighter Typhoon telah dilengkapi radar aktif AESA (active electronically scanned array).

“Avionik memegang peranan yang sangat penting bagi pesawat tempur, khususnya radar. Radar yang ada di Su-35 bukan EASA radar, namun pasif scanned array (PESA) yang mana akurasinya jauh dari EASA radar,” jelasnya.

Mantan pilot penempur F-16 Fighting Falcon dan F-5 Tiger II TNI AU dengan callsign “Mustang” ini menerangkan, pada pertempuran udara modern, siapa yang mendeteksi lebih dulu dialah yang memperoleh kesempatan memenangkan pertempuran lebih besar.

Alasan ketiga, pria yang masih aktif menjadi anggota Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) ini menjelaskan bahwa bentuk Su-35 lebih besar dari pesawat tempur sekelasnya, sehingga akan mudah terdeteksi pesawat lawan.

Terakhir, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan ini menilai dukungan logistik pesawat buatan Rusia tersebut sangat mahal.

“Selain itu, kelemahan pesawat Rusia adalah logistic support yang sangat mahal (life cycle cost). Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, kita tidak bisa menaruh kepercayaan terhadap Su-35. Masih jauh dibandingkan dengan kemampuan pesawat F-35 yang dimiliki tetangga-tetangga kita,” tandasnya.

Sebagai informasi, Sukhoi Su-35 Flanker-E atau Super Flanker merupakan pesawat jet tempur multiperan kelas berat buatan Rusia yang memiliki jangkauan lebih luas dari Su-27. Su-35 dikembangkan dari Su-27, dan awalnya diberi nama Su-27M. Pesawat ini dikembangkan untuk menandingi F-15 Eagle dan F-16.

Karena kesamaan fitur dan komponen yang dikandungnya, Su-35 dianggap sebagai sepupu dekat Sukhoi Su-30MKI, sebuah varian Su-30 yang diproduksi untuk India. Pesawat Su-35 perdana kemudian dikembangkan lagi menjadi Su-35BM, yang memasuki deretan produksi sebagai Su-35S untuk AU Rusia.

(IndoAviation)

Subscribe to receive free email updates: